REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah meminta pelaku usaha properti dan pemilik tanah untuk tidak panik menanggapi rencana penyusunan kebijakan terkait pajak tanah progresif. Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu Hestu Yoga Saksama menegaskan, kebijakan ini masih dalam tahap pembahasan dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Hestu juga menyebutkan, pemerintah akan sangat berhati-hati dalam menyusun kebijakan ini dan akan melibatkan pelaku usaha. Secara garis besar, kata Hestu, kebijakan untuk memajaki tanah secara progresif ini berlatarkan dua alasan.
Pertama, kata dia, adalah dorongan agar tanah atau lahan bisa dimanfaatkan untuk aktivitas ekonomi yang produktif. Sedangkan alasan kedua adalah penghindaran praktik spekulan tanah yang hanya berniat menjual tanah dengan harga tinggi.
"Saya tegaskan tak perlu ada kepanikan. Kami sangat hati-hati memutuskan. Kami sadari implementasinya tidak akan mudah, karena definisi tanah menganggur harus jelas. Target juga harus jelas," ujar Hestu dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (8/2).
Selain itu, Hestu juga menjelaskan bahwa selama ini pemajakan atas tanah terbagi menjadi dua skema yakni dilihat dari kepemilikan atau penguasaan dan dilihat dari sisi transaksi. Menurut skema penguasaan, pajak atas tanah dikenakan melalui Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Sedangkan bila dilihat dari transaksinya, pajak atas tanah dikenakan lewat Pajak Penghasilan (PPh) atau Pajak Penghasilan atas Penjualan Tanah dan Bangunan (PPHTB). Apalagi, sebetulnya PPh dan PPHTB merupakan kewenangan masing-masing pemerintah daerah untuk memungut.
Intinya, Hestu menegaskan bahwa kebijakan ini belum final dan meminta pelaku usaha dan pemilik tanah tidak panik. Ia juga menambahkan bahwa pemerintah belum memiliki kriteria final terkait kriteria tanah idle atau tanah yang menganggur.