REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum Tata Negara, Margarito Kamis menilai sikap Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo sangat politis dalam persoalan Ahok. Hal ini terkait pernyataan Mendagri soal penonaktifan Ahok sebagai gubernur DKI menunggu hasil tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
"Ini jelas politis," kata Margarito kepada Republika.co.id, Rabu (8/2).
Menurutnya, publik sudah hafal permainan seperti ini. Karena aturan hukumnya sudah ada dalam Undang Undang No.23 tahun 2014, pasal 83 ayat 1 dan 2. Di situ disampaikan secara jelas, lanjutnya, kepala daerah yang menjadi terdakwa diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan.
"Kalau tidak ikut aturan itu, mungkin pakai aturan lain di pikirannya atau hukum suka-suka. Di gubernur atau kepala daerah lain bisa berhenti tapi di Ahok ini tidak bisa berhenti," ujarnya.
Margarito berpesan kepada Mendagri agar tidak bermain-main dengan hukum, karena hanya ada satu undang-undang yang mengatur soal kepala daerah. Yakni Undang Undang No.23 tahun 2014, tidak ada yang lain. Dan di sana jelas disampaikan penonaktifan kepala daerah bila sudah terdakwa di pengadilan.
Sebelumnya Mendagri telah menegaskan pemberhentian sementara terhadap Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta hanya akan terjadi jika ada tuntutan di atas lima tahun penjara terhadap kasus penistaan agama. Dan keputusan penonaktifan tersebut menunggu penuntutan oleh JPU.
JPU telah menggunakan Pasal 156 dan 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) perkara penistaan agama untuk kasus Ahok yang kini berjalan di persidangan. Pada pasal 156 disebutkan ancaman pidana penjara paling lama empat tahun, sedangkan pada 156a ancaman pidana adalah lima tahun bila Ahok terbukti dengan sengaja melakukan penodaan agama.