REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON DC -- Retorika kampanye Donald Trump dan kebijakannya saat resmi dilantik menjadi presiden mendorong Muslim Amerika untuk terjun ke dunia politik dalam menghadapi iklim politik saat ini.
Seorang ibu dari tiga anak yang tinggal di pinggiran kota Boston, Nichole Mossalam tidak pernah merencanakan untuk mencalonkan diri sebagai pejabat publik. Tapi ketika anaknya yang berusia 8 tahun mendengar seorang temannya menjadi korban kejahatan kebenican, ia mengaku tidak memiliki pilihan.
"Kita perlu menempatkan diri di luar sana dan membuat orang sadar bahwa kita adalah tetangga mereka, bahwa kita semua menginginkan hal yang sama," kata Ms Mossalam seperti dilansir wsj.com, belum lama ini.
Anggota komunitas Muslim Amerika telah lama merasa terasing, terutama setelah serangan peristiwa 11 September. Sejak itu, mereka telah berjuang untuk menemukan suara politik mereka.
Sejauh ini, banyak muslim Amerika yang mengikuti organisasi politik di tingkat lokal. Di Portland, Maine, Saleh Ali, seorang imigran asal Ghana, baru-baru ini menjadi Muslim pertama di dewan kota.
Ali mengaku mendapat dukungan untuk menjadi anggota dewan setelah ia mengorganisir protes damai menentang retorika Trump tentang Muslim selama kampanye.
Selain itu, Sarah Khatib (41 tahun) mengatakan kampanye Trump dan kemenangaannya memotivasi dirinya untuk menjadi anggota dewan dalm bidang perencanaan daerah di pinggiran kota Walpole, Mass.
Saat ini, banyak muslim Amerika yang sudah bekerja sebagai pengacara dan aktivis hak-hak sipil. Menurut seorang profesor sejarah dan direktur dari Pusat studi Arab di Universitas Michigan-Dearborn., Sally Howell, mengatakan saat ini komunitas Muslim lebih siap untuk memobilisasi warga Amerika daripada setelah serangan 11 September lalu.
"Perbedaannya sekarang adalah bahwa masyarakat jauh lebih terorganisir," kata Howell.
Marniati