REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak semua negara di Afrika tercabik-cabik konflik. Ingar bingar pemberitaan tentang kekerasan tampaknya tak menyentuh Gabon, negara kecil yang terletak di Afrika Barat. Sebab, berbeda dengan kebanyakan negara yang masih berkutat dengan derita dan bencana konflik, Gabon justru fokus membangun negara dan bangsa.
Sebagian analisis menyatakan, negara ini mampu memanfaatkan potensi sumber alamnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Segenap unsur masyarakat pun bahu-membahu mewujudkan pembangunan di segala bidang.
Selain itu, negara benar-benar memerhatikan kehidupan beragama. Tiap-tiap organisasi keagamaan akan mendapatkan bantuan operasional, pembebasan pajak bagi impor barang-barang keperluan tertentu, atau kemudahan dalam pengadaan lahan untuk pembangunan rumah peribadatan.
Pemeluk Islam, Katolik, dan Protestan diperkenankan mendirikan sekolah agama yang pengawasannya dilakukan langsung oleh Departemen Pendidikan. Mereka juga memiliki hak yang sama untuk menyiarkan agama masing-masing melalui media cetak dan elektronik.
Pemerintah juga memfasilitasi pertemuan periodik antarpemimpin agama. Kegiatan semacam ini bisa digelar secara tahunan ataupun dua tahunan. Tujuannya adalah demi meningkatkan kerja sama dan saling pengertian antaragama. Hari besar agama pun ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Kebijakan yang ditempuh cukup efektif mengeliminasi potensi konflik di tengah masyarakat. Laman state.gov menyatakan, pihaknya juga tidak menemukan kasus pemaksaan agama, demikian pula tidak adanya penahanan karena alasan etnis atau agama.
Sosok sentral di balik pencapaian itu tak lain adalah Presiden Al-Hadj Omar Bongo. Dia dilahirkan di Lewai pada 20 Desember 1935 dengan nama Albert Bernard Bongo. Omar Bongo memegang tampuk kepemimpinan sejak tahun 1967 ketika menggantikan presiden sebelumnya, Leon Mba.