REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintah Amerika Serikat (AS) masih mempertimbangkan keputusan untuk menentukan apakah Pasukan Garda Revoulusi Iran (IRGC) dan Ikhwanul Muslimin masuk ke dalam organisasi teroris. Pertimbangan itu menjadi sinyal sanksi AS terhadap kelompok-kelompok di Timur Tengah semakin meluas.
IRGC atau dikenal sebagai Garda Revolusi merupakan satuan elit militer Iran. Pasukan itu memiliki kewajiban untuk melapor kepada pemimpin spiritual tertinggi Ayatollah Ali Khamenei. Mereka juga mendapat perintah yang tidak sama dengan militer umum.
Elite pasukan itu dibentuk pada 1979 lalu, bersamaan dengan revolusi Islam di Iran terjadi. Selama ini, IRGC disebut memiliki kekuatan besar, termasuk dalam mendominasi perekonomian negara dengan kepemilikan properti, minyak dan gas, serta telekomunikasi.
Sementara itu, Ikhwanul Muslimin berasal dari Mesir dan diebntuk pada 1928. Kelompok itu menolak ekkerasan dalam politik dan bercita-cita mendirikan sebuah lingkungan masyarakat Islam yang menganut prinsip demokrasi.
Sekretaris Pers Gedung Putih Sean Spicer membantah adanya pertimbangan terhadap salah satu kelompok tersebut yang akan dimasukkan dalam daftar organisasi teroris menurut Negeri Paman Sam.
"Tapi, tidak ada satupun yang bisa mempertanyakan komitmen presiden untuk sepenuhnya menyerang dan menatasai ancaman dari organisasi teroris," ujar Spicer dilansir Fox News, Kamis (9/2).