REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo kembali menegaskan bertanggungjawab atas keputusan menyerahterimakan kembali jabatan Gubernur DKI Jakarta kepada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) setelah habis masa cuti kampanye pada Sabtu (11/2) ini. Langkah ini juga menandai kembalinya Ahok sebagai Gubernur DKI definitif, meskipun berstatus terdakwa.
Tjahjo bersikukuh keputusan tersebut sudah berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kendati menuai kritikan dan pertanyaan baik pakar, anggota dewan, maupun masyarakat.
"Penjelasan saya sebagai sebagai Tjahjo Kumolo yang saya pertanggungjawabkan kepada Bapak Presiden RI terkait keputusan saya sebagai Mendagri. Ini keputusan Mendagri berdasarkan UU, bukan keputusan Presiden, maka yang bertanggung jawab adalah Mendagri," kata Tjahjo dalam keterangannya kepada wartawan, Sabtu (11/2).
Menurutnya, pertimbangan seperti itu diambil sebagaimana dalam UU dan telah diterapkan selama ini kepada kepala daerah atau wakil kepala daerah, DPRD maupun pejabat Kemendagri yang bermasalah. Dijelaskan Tjahjo, ada sejumlah ketentuan di antaranya diberhentikan sementara bagi pejabat yang tertangkap tangan melakukan korupsi, tanpa menunggu berstatus terdakwa.
Kedua lanjut dia, pejabat berstatus terdakwa yang ancaman hukumannya lima tahun ke atas dan tidak ditahan sebagaimana tuntutan jaksa di persidangan, oleh Kemendagri tidak diberhentikan sementara sampai keputusan tetap.
"Kalau keputusam hukum tetap salah, ya diberhentikan tetap dan wakilnya naik atau pejabat lain ditunjuk sebagai plt kepala daerah, kalau keputusan pengadilan bebas maka dikembalikan dalam jabatannya," katanya.
Begitu juga halnya untuk pejabat berstatus terdakwa. Kalau jaksa menuntut di bawah lima tahun dalam persidangan dan terdakwa tidak ditahan, maka tidak diberhentikan sementara sampai keputusan tetap.
Dalam kasus Ahok, ia mengatakan, sama halnya yang ia pernah putuskan untuk Gubernur Gorontalo yang tuntutannya di bawah lima tahun dan tidak diberhentikan sementara sampai inkrah.
"Kasus Gubernur Pak Ahok ya Kemendagri menunggu sampai tuntutan resmi jaksa penuntut nantinya di persidangan. Kalau tuntutannya lima tahun, ya diberhentikan sementara. Kalau tuntutannya di bawah lima tahun, ya tetap menjabat sampai keputusan hukum tetap, karena tidak ditahan. Kalau ditahan langsung diberhentikan sementara," katanya.
Tuai Kritik
Langkah Mendagri tersebut menuai kritikan oleh sebagian pihak, termasuk oleh mitra Kemendagri yakni Komisi II DPR. Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Lukman Edy menilai Mendagri telah memberi tafsir lain berkaitan kasus Ahok.
Hal sama diungkapkan Wakil Ketua Komisi II DPR lainnya, Achmad Riza Patria yang menilai alasan Mendagri dapat menjadi preseden buruk bagi Pemerintah Pusat. Hal ini karena, perlakuan yang berbeda kepada Ahok sebagai kepala daerah berstatus terdakwa.
Bahkan, Wakil Ketua Komisi II Almuzzamil Yusuf mengingatkan Pemerintah bahwa DPR dapat menggunakan hak angket jika Presiden tak mengeluarkan surat pemberhentian kepada Ahok.