REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemuda Muhammadiyah menilai wajah hukum tidak begitu berdaulat ketika berada di depan rentetan peristiwa yang berkaitan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Bidang Hukum HAM dan Kebijakan Publik Faisal mengatakan, hal tersebut terbukti mulai dari penetapan Ahok menjadi tersangka.
"Begitu rumitnya seperti kita sedang berhadapan pada situasi kasus yang mahasulit padahal cukup simpel jika melihat unsur pasal penistaan agama," ujarnya dalam keterangan tertulis, Ahad (12/2).
Kemudian, kata dia, saat di persidangan pihak terdakwa mengatakan memiliki bukti percakapan yang berujung pada spekulasi publik menuding adanya indikasi melakukan penyadapan tanpa hak. Hal ini jelas melanggar undang-undang. Bahkan, menurut Faisal, penegak hukum tak berupaya sedikit pun menindaklanjuti pernyataan pihak terdakwa apalagi ini bukan delik aduan.
"Bahkan, belakangan langkah Mendagri yang tidak memberhentikan sementara terdakwa membuat daftar panjang jika hukum betul betul tidak berdaulat," ujarnya.
Padahal, kata Faisal, jelas dan tegas perintah UU perihal pemberhentian sementara berdasar pasal 83 (1) membuat Presiden dan Mendagri jika tidak melaksanakan perintah itu akan berpotensi langgar UU Pemda Tahun 2014. Dia mengatakan pasal 83 (1) tidak sedikitpun membuka ruang perdebatan tafsir bahkan pasal tersebut harus dimaknai demi kebaikan para pihak. Baik itu pihak terdakwa agar lebih fokus jalani proses hukumnya serta pihak pemerintah DKI tidak menjadi terhambat dalam pengambilan kebijakan karena terhalang faktor status hukum Gubernurnya.
Faisal melihat dalih Mendagri memaknai pasal 83 (1) menunggu sampai tuntutan resmi jaksa penuntut di persidangan. "Kalau tuntutannya lima tahun, ya diberhentikan sementara. Kalau tuntutannya di bawah lima tahun, ya tetap menjabat sampai keputusan hukum tetap," ujarnya.
Alasan yang dilontarkan Mendagri dinilai tidak sama sekali memperhatikan prinsip obyektivitas dan prinsip tidak berpihak dalam menegakkan hukum dan UU. Menurut Faisal, jelas subjektif Mendagri jika dalam memaknai pasal 83 (1) harus menunggu tuntutan jaksa. Padahal obyektifitas yang dianut pada pasal 83 (1) berhenti pada dakwaan awal yang diancam pada pasal 156a KUHP yaitu lima tahun. "Mutlak alasan Mendagri tadi tidak sama sekali mewakili prinsip objektivitas," kata dia.
Kemudian, kata Faisal, sebagai Mendagri tentu dalam mengambil keputusan yang dilihat adalah tujuan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bukan malah cenderung memihak. "Keuntungan memberhentikan terdakwa sementara, maka pemerintahan DKI tidak akan terbebani dengan status hukum si terdakwa, sudah tentu akan menjauhi risiko. Kok ini justru mendekati risiko bahkan cenderung memihak," ujarnya.
Faisal menyebut apabila pemerintah masih bangga menggunakan istilah reformasi dalam berhukum, sudah tentu kedaulatan terhadap hukum mutlak harus diberikan. "Janganlah kuasa politik menjadi pemasung dan di ujung sana hukum menjadi tidak berdaulat," ujarnya.