Senin 13 Feb 2017 08:02 WIB

Apindo Sebut Ketegangan di Sektor Migas Indonesia Sudah Lama Terjadi

Rep: Frederikus Bata/ Red: Nidia Zuraya
Ladang pengeboran migas (ilustrasi)
Foto: AP PHOTO
Ladang pengeboran migas (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sammy Hamzah menilai ketegangan di sektor minyak dan gas bumi (migas) tanah air cukup lama terjadi. Pelaku industri migas, menurutnya, sudah mengharapkan terobosan dari pemerintah mengantispasi hal tersebut.

"Apakah itu permasalahan dari segi regulasi, perizinan, dan sebagainya," kata Sammy di Jakarta, Ahad (12/2).

Ia mengungkapkan akibat dari ketegangan tersebut, banyak perusahaan besar mereview keberadaannya di Indonesia. Penyebabnya, terang Sammy ada beberapa peraturan yang secara keekonomian belum memenuhi harapan para investor.

Ia mencontohkan bagaimana skema gross split yang kini diterapkan pemerintah belum dminati oleh pebisnis di sektor migas. Ia memahami tujuan pemerintah untuk menciptakan iklim usaha yang lebih fleksibel dan efisien.

"Kenyataan yang diberikan, pemerintah masih setengah hati, karena secara keekonomian belum (memenuhi harapan industri)," ujar Sammy.

Ia melanjutkan, sistem gross split tepat bagi beberapa jenis kontrak dalam situasi tertentu, misalnya saat memasuki penghabisan. Tetapi, jelas dia, untuk kontrak yang masih eksplorasi, tidak menarik.

"Dari sistem split-nya nggak menarik, gross split yang ditawarkan investor itu tidak lebih menarik dari net split. karena asumsi disana itu hampir sama,dan belum tentu bisa  terealisasi," tutur Sammy.

Sammy menuturkan para investor berharap jangan memperburuk aturan yang sudah lama berlaku. Kemudian untuk gross split, hendaknya pemerintah, menurut dia memberikan opsi kepada pelaku industri untuk memilih. "Jangan dipaksa yang ini, jadi mereka bisa memilih," ujarnya.

Sammy memberi catatan soal Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas. Saat aturan ini keluar, investasi di eskplorasi sempat stagnan dan mengalami penurunan. 

"Lima tahun itu stagnan karena ketidak pastian peraturan setelah itu. Kalau kita otak atik UU, maka akan menimbulkan ketidak pastian. Bisa jadi, aturan yang turunannya gak keluar langsung, jadi harus ada penyesuaian. Nah, ini harusnya dilakukan bersama. Kalau peraturan ini butuh setahun dua tahun keluar lagi jadi ketidakpastian yang keluar," tuturnya menjelaskan.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement