REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia batal tampil di babak final Piala Dunia Federasi Equestrian Internasional (FEI) Rolex 2013 pada 26--28 April di Swedia. Pembatalan itu menyusul kondisi fisik memburuk manajer tim kuda "Equinara Zanador" Adinda Yuanita yang diduga menjadi korban malapraktik.
Semula, Adinda dan timnya dijadwalkan turun nomor halang rintang pada kejuaraan paling bergengsi untuk cabang olahraga equestrian di dunia tersebut turut. Keputusan itu disayangkan oleh Manajer Pelatnas Federasi Equestrian Indonesia (EFI) Prastiana Sumiskun.
"Selain manajer, dia juga atlet andalan untuk meraih gelar juara di World Cup kategori B tahun lalu. Tentu saja keadaan ini sangat merugikan," kata Prasetiana dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Rabu (20/3).
Adinda selain menjabat Ketua Pembinaan Prestasi EFI, juga menjadi manajer tim beranggotakan kuda atlet "Equinara Zanador" dan penunggang Ferry Wahyu Hadiyanto yang meraih peringkat pertama di liga Rolex Asia Tenggara untuk halang rintang dengan mengemas 19 poin.
Keberhasilan mereka memuncaki liga Asia Tenggara mengantarkan mereka sebagai tim equistrian Indonesia pertama yang lolos ke babak final Piala Dunia Federasi Equestrian Internasional (FEI) Rolex 2013 pada tanggal 26--28 April di Gothenburg, Swedia.
Kronologi dugaan malpraktik
Dugaan malapraktik yang menimpa Adinda berawal pada tanggal 13 November 2012 atau sepekan berlalu selepas dia terjatuh dari kuda "Bodius". Dia memeriksakan diri ke dokter spesialis tulang di salah satu rumah sakit swasta di bilangan Jenderal Sudirman, Jakarta.
Adinda terjatuh ketika berlatih halang rintang di Arthayasa Stable, Cinere, pada tanggal 6 November.
Meski terjatuh setelah berpegangan di leher kuda yang berlari hingga 50 meter, Adinda tidak merasakan sakit berlebih dan bahkan mampu memenangi empat medali pada Kejuaraan Nasional EFI di Sentul, Jawa Barat selama 9--11 November.
Berdasar pemeriksaan, dokter menyarankan Adinda untuk mendapat suntikan penghilang rasa sakit Tramal serta infus Aclasta setelah berkonsultasi lanjutan. Total atlet tersebut menerima suntikan Tramal sebanyak tiga kali (13, 17, dan 20 November) serta tambahan infus Aclasta yang diberikan pada sesi konsultasi ketiga, yaitu pada tanggal 20 November.
Selepas menjalani pemeriksaan tersebut, kondisi Adinda bukannya membaik justru kian memburuk. Ibu tiga anak itu sempat merasakan demam tinggi selama tiga hari selepas menerima suntik Tramal dan infus Aclasta.
Ia juga mengaku mengalami kenaikan berat badan sebanyak 9 kilogram, wajahnya membengkak dan mati rasa, punuk yang menebal, badan biru-biru, tremor, sakit kepala yang luar biasa, ngilu pada tulang dan otot sehingga harus menggunakan kursi roda.
Kondisi tersebut membuat Adinda terbang ke RS Mt Elizabeth untuk menemui dokter spesialis endokrinolog yang mendalami penyalahgunaan steroid. Dokter di Singapura pun menilai pemberian infus Aclasta oleh rumah sakit di Jakarta tidak wajar.
Dokter di Singapura juga menyebutkan kondisi tulang Adinda terutama tulang ekor dan tulang rusuk dalam keadaan baik sehingga tidak perlu terapi Aclasta, mengingat obat tersebut termasuk obat golongan keras yang biasa digunakan untuk pengobatan pasien sakit kanker tulang, osteoporosis dan pasien menopause.
Pihak keluarga dan EFI meminta kepada pihak rumah sakit dapat mempertanggungjawabkan kondisi Adinda sekaligus memperingatkan bila tidak ditanggapi, permasalahan ini akan ditempuh melalui jalur hukum, mengingat hingga empat bulan berselang dokter yang bersangkutan tidak menunjukan itikad baiknya.