REPUBLIKA.CO.ID, Suatu saat pada pengujung 2001, aktor tenar Will Smith lengkap dengan celana dan sarung tinjunya tampak gagah menghindari pukulan-pukulan jab seorang pak tua. Di hadapannya, pak tua dengan pakaian jas rapi itu terus mendaratkan pukulan ke arah Smith. Lemah, namun pukulannya akurat, meski tangan kirinya tampak bergetar hebat.
Berbeda dengan Smith yang tampak menghindar dengan serius, pak tua terlihat tersenyum bahagia tanpa menghiraukan sorot kamera di sekeliling keduanya. Lelah pukulannya meleset, pak tua bernama Muhammad Ali ini lalu meniup Smith dengan mulutnya.
Fuuuh… seketika, aktor kulit hitam itu langsung roboh. Semua tertawa, termasuk orang-orang di sekitar yang ketika itu sedang hadir dalam konferensi pers pemutaran film berjudul ‘Ali’ Desember 2001 silam.
Demikianlah Ali. Kisah hidupnya mampu menarik minat studio penghasil karya audio visual terbesar dunia, Hollywood, untuk memfilmkannya. Tentu bukan sebuah cerita biasa sehingga Hollywood mau mengangkatnya.
Ali melegenda sebagai petinju asal Amerika Serikat yang punya raihan tiga kali juara dunia di tingkatan paling bergengsi, kelas berat. Ketika pensiun pun, Ali masih sanggup jadi juara sejati di tingkatan yang lebih tinggi, yakni kehidupan sebenarnya.
Ring tinju bukan sekadar tempat dia menghajar lawan-lawannya. Lebih dari itu, Ali menjadikan arena baku pukul sebagai kendaraan baginya melawan tirani terhadap bangsanya. Yaitu, rakyat Amerika bahkan dunia yang ditakdirkan berkulit hitam.
Dilahirkan 17 Januari 1942, Ali mulai menyadari ketika beranjak remaja betapa mengerikan nasib yang harus diterima orang kulit hitam. Saat itu, wilayah tempat tinggalnya di Kentucky sangat tak aman bagi dia yang berkulit gelap. Saban hari, Ali kerap terlibat keributan dengan orang-orang kulit putih yang meremehkan dirinya.