REPUBLIKA.CO.ID, KUALALUMPUR -- Atlet balap kursi roda Indonesia dan peraih medali emas ASEAN Para Games 2017 Doni Yulianto masih mengingat jelas awal dia berlatih dengan kursi roda balap hasil tempaan tukang las ketika akan mengikuti ASEAN Para Games pertamanya. Tepatnya tahun 2011, ketika pesta olahraga untuk atlet dengan disabilitas itu digelar di Indonesia.
"Kami masih bikin sendiri waktu itu. Negara lain seperti Thailand sudah memakai buatan Amerika Serikat yang memperhitungkan aerodinamika dan lain-lain, kami menggunakan buatan tukang las. Yang penting imbang kanan kiri, ya sudah," ujar Doni sembari tertawa lepas ketika ditemui di Stadion Bukit Jalil, Selangor, Malaysia, Selasa (19/9).
Dia mengaku, bukan hanya ketika ASEAN Para Games di Indonesia, kursi roda buatan tukang las itu juga digunakan jelang ASEAN Para Games 2014 di Myanmar. Tak ayal, atlet balap kursi roda Indonesia tidak ada yang meraih emas pada kedua kejuaraan tersebut, meski pada edisi 2011 Doni mendapatkan medali perak dan perunggu.
Keadaan mulai membaik saat ASEAN Para Games ke-8 di Singapura tahun 2015. Doni yang ketika itu kembali ke Tanah Air tanpa medali sudah bisa mencicipi kursi roda balap standar internasional.
"Negara kayak Thailand sudah menggunakan peralatan internasional sejak tahun 2000-an, sementara Indonesia baru mengajukan alat tahun 2012 dan alat pertama datang tahun 2014. Itupun belum lengkap," tutur Doni.
Barulah setelah ASEAN Para Games di Singapura 2015, peralatan berkualitas tinggi datang sepenuhnya. Doni dan rekan-rekannya pun harus beradaptasi dan terus berlatih. "Lama-lama catatan waktu saya semakin baik," kata dia.
Hasilnya pada ASEAN Para Games 2017, Doni yang tidak diunggulkan berhasil meraih medali emas di nomor lomba kursi roda 1.500 meter T54 putra, menaklukkan lawannya dari Thailand K. Thampsopon dengan selisih waktu hanya 0,01 detik. Doni mencatatkan waktu tiga menit 32,45 detik, sementara Thamsopon tiga menit 32,46 detik.
Tak cuma emas, Doni juga sudah menyumbangkan satu perunggu untuk Indonesia dari nomor 800 meter balap kursi roda T54 putra. Jumlah ini pun masih bisa bertambah karena Doni masih akan turun di nomor-nomor balap kursi roda lainnya.
Pencapaian tertinggi di ASEAN Para Games itu pun membuat Doni menangis karena terharu. "Saya terharu, bercampur senang dan sedih karena latihan saya selama ini terbayar. Air mata saya tumpah begitu saja. Ini emas pertama saya di ASEAN Para Games sejak ikut di kejuaraan ini mulai tahun 2011," ujarnya dengan mata sembab karena tangis.
Difabel Bisa Berprestasi
Atlet asal Solo kelahiran 20 Juni 1988, Doni harus menempuh pendidikan di sekolah luar biasa. Berkursi roda sejak kecil karena kakinya tidak berfungsi dengan sempurna, pemuda yang masih jomblo ini ternyata memiliki bakat olahraga, khususnya balap kursi roda.
Karena itulah sejak bersekolah di SMA Luar Biasa, dia dipercaya melatih adik-adik kelas di balap kursi roda sembari menapak jalan ke dunia atlet dengan mengikuti Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN) Luar biasa.
Selanjutnya Doni mengikuti Pekan Olahraga Provinsi (Porporv) tahun 2009 di Jawa Tengah dan menduduki peringkat terbaik ketiga.
Dari sana, potensi Doni semakin tidak tertutupi lagi sampai akhirnya dia dipanggil untuk membela Indonesia di ASEAN Para Games tahun 2011 di Jakarta. Hasilnya, dia mendapatkan perak di nomor balap kursi roda 400 meter dan perunggu di 100 meter.
"Sejak saat itulah saya sadar bahwa masa depan saya menjadi atlet dan fokus untuk berprestasi di sini. Sebelumnya saya masih bimbang menentukan jalan," tutur Doni, yang saat ini juga sudah menjadi aparatur sipil negara Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
Usai ASEAN Para Games 2011 itu dia pun mengikuti Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas) dan mengisi satu tempat di kontingen Indonesia untuk ASEAN Para Games tahun 2014, 2015 dan terkini di tahun 2017.
Ada satu hal yang ingin ditunjukkan Doni di berbagai ajang balap kursi roda baik nasional maupun internasional.
Dia ingin orang-orang melihat bahwa difabel seperti dirinya bisa berprestasi, bahkan mewakili nama negara di hadapan dunia. Satu hal yang tidak bisa dilakukan oleh banyak manusia lainnya.
"Banyak yang pesimistis dengan saya. Mereka bilang, 'setelah tamat sekolah kamu mau ke mana? Di rumah saja buka bengkel, tambal ban'. Ada lagi yang bilang, 'les elektronika saja, buka tempat servis' hanya karena saya difabel. Namun saya tidak mau karena itu bukan gairah saya. Gairah saya di olahraga. Saya mau menunjukkan kepada mereka yang memandang kaum difabel sebelah mata bahwa kami bisa berprestasi dan bisa menyejahterakan diri sendiri juga orang lain," ujar Doni.