Oleh Bambang Noroyono
Wartawan Republika
Indonesia berhasil mengembalikan tradisi emas Olimpiade pada gelaran 2016 di Brasil. Di luar prestasi, ada tiga keberhasilan lain dalam bidang olahraga selama tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Yakni, infrastruktur dan sarana olahraga modern (sport science) serta kesejahteraan. Untuk pertama kalinya, atlet dijadikan sebagai warga negara istimewa lewat jaminan penghidupan yang layak dan mapan.
Tapi, ragam prestasi tiga tahun Presiden Jokowi-JK, bukan tanpa kekurangan dan kegagalan. Dua kali Menpora Imam Nahrawi mengungkapkan kekesalannya soal prestasi olahraga Indonesia. Pertama, tatkala Kontingen Garuda cuma membawa pulang satu medali emas dari Olimpiade 2016. Kedua, saat Merah Putih gagal target SEA Games 2017.
Imam mengatakan atlet Indonesia memang tak kalah kualitas tetapi tak disokong birokrasi dan pendanaan yang mapan serta mudah. “Selama atlet dibiayai uang negara akan sulit meningkatkan prestasinya,” kata dia.
Anggaran prestasi olahraga dalam APBN kecil. Tahun 2017 sekitar Rp 500 miliar. Tahun sebelumnya, tak sampai Rp 300 miliar. Imam mengatakan, angka itu belum menampakkan prestasi olahraga sebagai prioritas dalam pengeluaran brangkas negara.
Sesmenpora Gatot Dewa Broto membenarkan ungkapan Menpora Imam yang menilai prestasi olahraga belum jadi prioritas utama bagi keuangan negara. Pun, belum menjadi prioritas dalam daftar program utama pemerintahan saat ini.
Menurut dia, olahraga ada di urutan ke-14 dalam prioritas keuangan pemerintah. Posisi tersebut tak bergeser selama tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK. Kemenpora menginginkan olahraga ada ada di daftar 10 besar program prioritas pemerintah.
“Tetapi, belum berhasil. Nggak pernah tembus,” ujar Gatot.
Tertib Administrasi
Selama ini, kebutuhan para atlet memang jadi beban negara. Mulai dari asupan nutrisi sampai pelatihan, dan uang saku juga akomodasi, semuanya menetek ke APBN. Jika para atlet hendak tanding kemanapun itu maka keuangannya dari negara. Penyalurannya via Kemenpora.
Ada Satlak Prima yang menjadi otoritas peningkatan prestasi. Ia sekaligus badan validasi atlet-atlet sebagai pengguna uang negara. Selama menjadi beban kas bangsa, para atlet dituntut tertib administrasi. Jika tidak maka Kemenpora sebagai kuasa pengguna anggaran bakal kena batunya.
Imam tak mau penggunaan uang negara yang serampangan. Semua penggunaannya harus dipertanggungjawabkan. Tak ada yang mau jika nanti pejabatnya terseret ke arena hukum. “Kita sering diingatkan KPK, BPK, BPKP, kepolisian dan juga kejaksaan terkait keuangan ini,” kata Imam.
Tertib administrasi itu yang jadi salah satu hambatan para atlet berada di jalan mulus mencapai prestasi. Banyak para atlet tak bisa latihan gara-gara lamanya pencairan. Atlet tak bisa mengadakan pemusatan latihan khusus karena birokrasi yang rumit.
Para atlet terpaksa absen dari gelaran uji coba di gelanggang internasional lantaran pendanaan baru bisa turun usai gelaran pungkas. Sejumlah kebutuhan alat latihan, pun mengharuskan tender sebagai syarat tertib uang negara. Proses tender normal bisa mencapai dua sampai tiga bulan.
Sebelum SEA Games di Malaysia Agustus lalu, banyak para atlet yang terpaksa tak digaji. Bahkan, ada atlet yang sejak Januari tak menerima uang saku.
Ada atlet yang tak punya tempat dan sarana latihan. Beberapa induk cabor terpaksa memberangkatkan atletnya sendiri dengan uang kas pribadi. Untung ada beberapa sponsor swasta yang mapan.
Semua tertib itu mewajibkan Satlak Prima melaporkan apapun kegiatan para atlet tersebut. Intinya, Imam mengakui sulit mengikuti alur keuangan negara dengan desakan dan kebutuhan atlet yang dinamis dan mengharuskan kesigapan untuk pemenuhan kebutuhan.
Satlak Prima Berakhir
Soal kegagalan, Gatot menjelaskan yang terjadi sepanjang persiapan Kontingen Indonesia menuju SEA Games 2017, merupakan rangkaian cacat administrasi yang menuntut amputasi satu organ di kementeriannya.
Satlak Prima menjadi jalan keluar mengatasi kebuntuan pemotongan birokrasi keuangan prestasi atlet terebut. Sebab, menurut Gatot, Satlak Prima menjadi badan penghubung antara Kemenpora sebagai kuasa anggaran negara, dengan para atlet yang menjadi pengguna uang negara.
Selama ini, kebutuhan dan persiapan para atlet nasional harus melewati fungsi Satlak Prima. Badan tersebut menjadi kamar tersendiri untuk memastikan pelatihan nasional bagi atlet potensi medali agar berjalan. Satlak Prima pula yang menyiapkan program-program pelatihan bagi atlet nasional sebelum maju ke gelanggang internasional.
Kebutuhan atlet dalam pelatihan tersebut, akan diteruskan kepada Kemenpora sebagai penyedia anggaran. Tapi dalam banyak kasus, Satlak Prima tak mampu memvalidasi atlet bersama kebutuhannya itu. Tanpa adanya validasi dari Satlak Prima, Kemenpora tak punya keberanian menggelontorkan keuangan atlet tersebut.
Gatot pun memastikan, peran Satlak Prima akan digantikan oleh masing-masing pengurus induk cabor proyeksi medali emas. Terutama dalam penyerapan keuangan prestasi atlet. Dia memastikan, menuju Asian Games 2018, fungsi Satlak Prima sudah tak lagi ada.
PR Lain: Pendidikan Atlet
Kegagalan lain pemerintahan Presiden Jokowi-JK dalam olahraga, juga dalam bidang pendidikan. Gatot mengatakan, realisasi bonus yang tinggi untuk para atlet memang memberikan jaminan penghidupan dan ekonomi. Namun, tak memberikan jaminan bagi atlet untuk tetap mencecap kursi perguruan tinggi.
Gatot mengatakan, Kemenpora menghendaki agar para atlet-atlet peraih medali, baik di Olimpiade ataupun Asian Games, punya peluang untuk menikmati pendidikan di perguruan tinggi negeri dengan jalur prestasi. Selama ini, jalur prestasi olahraga di perguruan tinggi hanya memberikan kursi pendidikan di bidang keolahragaan.
Padahal, Gatot mengatakan, banyak atlet-atlet nasional yang menginginkan masuk perguruan tinggi untuk menekuni keilmuan lain selain keolahragaan.
Baca juga
Bagian Pertama: Tradisi Emas Olimpiade Kembali di Era Jokowi
Bagian Ketiga Ini Kata Erick Thohir Soal Pencapaian Jokowi-JK di Olahraga
Bagian Keempat 3 Tahun Jokowi-JK, Target Prestasi & Anggaran Belum Selaras