REPUBLIKA.CO.ID,Lampion dan ornamen bernuansa merah tiba-tiba mem buat saya terlupa kalau kaki saya masih menginjak tanah London. Terlebih, sepanjang mata memandang, muka Asia Timur berada di tiap sudut lo kasi. Dari toko pakaian, minimaket, hingga rumah makan, semua dipenuhi oleh warga keturunan Cina. Inilah lokasi di Limehouse London yang lebih populer dengan sebutan China Town.
China Town tidak sebatas tempat berkumpulnya orang-orang Cina di Inggris. Tempat ini juga mampu jadi salah satu daya tarik pariwisata di London. Saat menginjakkan kaki di China Town, saya mendapati ribuan manusia berlalu-lalang dan berbelanja di kawasan ini. Walau pengunjung didominasi turis asal tanah Tiongkok, tidak sedikit pula wisatawan dari luar Cina yang menjadikan tempat ini sebagai salah satu tujuannya di London.
Saya pun berjumpa dengan seorang turis asal Jerman di China Town. Dia pun menjelaskan alasannya datang ke kampung Cina di London. “Semua karena masakan Cina,” kata si turis Jerman. Masakan bebek goreng khas Cina jadi salah satu makanan yang jadi ciri khas China Town. Makanan yang membuat si turis Jerman rela merogoh koceknya sebesar 30 poundsterling.
Karena didorong penasaran, saya coba memesan satu porsi bebek khas China Town. Di restoran bernama Imperial, saya memesan seperempat porsi bebek goreng kepada wanita tua asli Cina. “Sembilan poundsterling untuk seperempat bebek,” jelas sang pelayan, meminta pembayaran uang di muka.
Uang 10 poundsterling saya serahkan ke tangan wanita tua itu. Segera setelah uang berpindah tangan, si wanita beranjak ke meja koki. Sebuah kertas yang berisi menu pesanan diserahkannya.
Saat sedang menunggu pesanan, pandangan saya tertuju pada remaja wanita berwajah Cina yang memesan menu dengan bahasa Tiongkok. Sang pelayan pun meladeni dengan bahasa Tiongkok pula. Betapa bangganya kedua orang itu berbahasa Cina kendati berada di tengah Kota London.
Saat tengah asyik menghayati bentuk dan rasa bebek khas Imperial, saya dikejutkan dengan kedatangan si wanita tua. “Ini seperempat bebek gorengmu,” kata si wanita pelayan tua yang dengan cekatan mengantarkan makanan dengan uang kembali satu poundsterling.
Hanya kurang dari lima menit makanan saya tersedia. Rasa puas pun saya rasakan karena tidak perlu mengantre lama kendati saat pertama kali datang, saya berada di baris ketiga antrean pembeli.
Sambil membawa bungkusan bebek goreng, saya kembali melintasi kawasan China Town. Di kanan kiri mata memandang, seluruh restoran bebek penuh terisi pembeli. Tidak terbayangkan, berapa keuntungan yang diperoleh para imigran Cina di London ini. Saya pun mulai membuka pesanan bebek goreng begitu sampai di apartemen di Bayswater, London. Sebelum menyantap makanan bebek cina, saya memutar kanal BBC yang menampilkan tayangan berita Olimpiade.
Tayangan pada pukul 11.00 malam waktu GMT itu menampilkan senarai perolehan medali. Negeri asalnya si bebek goreng yang akan segera saya santap, Cina, berdiri kokoh di puncak klasemen dengan enam emas, empat perak, dan 11 perunggu. Capaian yang jadi kejutan karena Cina mampu menumbangkan negara adikuasa, Amerika Serikat, yang selama ini jadi langganan juara umum Olimpiade.
Sambil terpana akan prestasi atlet Cina, daging bebek goreng mulai saya santap. Pada kunyahan pertama, kelezatan langsung terasa. Saya yang selama ini kurang menggemari daging bebek mengakui kalau bebek cina berbeda dengan rasa bebek manapun yang ada di Jakarta. Rasanya gurih, tidak berbau dengan kualitas daging yang lembut jadi ciri utama bebek cina di London.
Kekaguman saya pun bertambah kepada Cina dari sepotong daging bebek. Sebuah negara yang memiliki konsep kedisiplinan laiknya yang dibuktikan sang wanita tua pelayan. Sebuah bangsa yang memiliki kebanggan diri tinggi terhadap budayanya seperti tergambar dari percakapan remaja wanita di China Town. Dan, sebuah negara yang kini menguasai klasemen sementara Olimpiade 2012. Cina (mulai) menguasai dunia.