REPUBLIKA.CO.ID, Marga Mainaky dan perbulutangkisan Indonesia ibarat dua sisi mata uang. Keduanya saling terkait satu sama lain. Penahbisan ini terasa wajar jika menyimak kontribusi mereka di pentas tepok bulu dunia.
Tak terhitung torehan prestasi yang dibukukan Richard Mainaky, Rionny Mainaky, Rexy Mainaky, Marleve Mainaky hingga Karel Mainaky, semasa aktif bermain maupun hingga kini menjadi pelatih. Dahulu, Rexy merupakan pemain andalan Indonesia di sektor ganda putera. Duetnya bersama Ricky Subagja teramat sulit ditaklukkan pada medio 1990-an.
Puncak prestasi Rexy/Ricky tentu saja medali emas Olimpiade Atlanta 1996. Setelah melatih di Inggris maupun Malaysia, Rexy kembali ke Tanah Air. Rexy kini menjabat sebagai Kabid Binpres PB PBSI.
Sementara Richard, meski tak setenar Rexy ketika bermain, menawarkan sesuatu yang berbeda dan berkelas. Tangan dingin Richard sukses melahirkan ganda campuran kelas dunia pada diri Liliyana Natsir dan Nova Widianto maupun Tontowi Ahmad. Puncak prestasinya tentu kala mengantarkan Liliyana/Nova menjadi juara dunia 2005 dan 2007 serta juara dunia 2013 atas nama Liliyana/Tontowi.
Waktu terus berlalu. Generasi berikut dari marga Mainaky berupaya melanjutkan tinta emas yang ditorehkan para orang tua mereka. Khusus di gelaran BCA Indonesia Open Super Series Premier 2016, terdapat dua marga Mainaky yang turun gelanggang pada fase kualifikasi, yaitu Lyanny Alessandra Mainaky dan Yehezkiel Fritz Mainaky.
Lyanny, puteri dari Rionny, sukses mengawali perjuangannya dengan manis. Bermain pada nomor tunggal puteri, Lyanny menaklukkan Wulan Cahya Utami melalui pertarungan tiga set 20-22, 21-18, dan 21-16 dalam waktu 76 menit.
Namun, pada babak penentuan melawan Jauza Fadhila Sugiarto, Lyanny menyerah 27-29, 21-10, dan 21-11. Menurut Lyanny, kekalahannya tak lepas dari masalah fisik.
Sebab, selain tunggal putri, Lyanny juga bermain pada nomor ganda campuran Berpasangan dengan Yehezkiel, sang kakak. Pasangan ini takluk dua set langsung atas wakil Denmark Kim Astrup dan Line Kjaersfeld 21-12 dan 21-12.
“Pertama gak terlalu pengaruh. Gim kedua mulai pengaruh. Kurang latihan mungkin jadi staminanya turun,” katanya. Bermain pertama kalinya pada ajang sekelas BIOSSP, Lyanny tidak menargetkan apa-apa.
Dibandingkan bermain ganda, Lyanny mengaku lebih menyukai bermain tunggal. Apalagi, sejak bermain bulutangkis pada bangku sekolah dasar, dukungan orang tua selalu menyertai.
Terlebih, tangan dingin ibunya yang melatih. Lyanny meyakini, kekalahannya ini karena kurang latihan.
Ihwal marga Mainaky, Lyanny mengaku beban terkadang mendera. Tapi, sebisa mungkin Lyanny tidak pernah memikirkan nama besar keluarganya.
“Kadang kalau kalah terus ya kepikiran. Tapi saya ya saya, Mainaky ya Mainaky,” ujarnya. Lebih lanjut, Lyanny mengaku senang dapat berpartisipasi pada ajang BIOSSP 2016.
“Tahun lalu masih penonton, mikir kapan bisa main. Ternyata benar tahun ini,” katanya. Sementara itu, ibunda Lyanny, Vrily Karundeng (42) menuturkan, anaknya selalu berlatih menyerang dan bertahan selama dua jam per hari.
Selain itu, Lyanny kerap bermain dengan om-omnya seperti Marlev Mainaky, Richard Mainaky, dan Rexy Mainaky. “Dia latihan sama saya, pagi sudah bagun, dia //skiping//-an. Karena lihat dia semangat ya saya jadi semangat,” ujarnya.
Sebagai pelatih pribadi anaknya, Vrily menilai, babak kualifikasi ini benar-benar menguras tenaga anaknya. Dari sisi teknis, pukulan anaknya masih kurang berani.
“Kurang nekat saja, jadi mentah,” katanya. Vrily menargetkan peringkat 20 besar pada Lyanny yang saat ini masih berada diangka 100-an.