Senin 13 Feb 2017 17:51 WIB

Soal Status Ahok, Jokowi Instruksikan Mendagri Minta Fatwa MA

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Bayu Hermawan
Presiden Joko Widodo (kanan) bersama Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengadakan konferensi pers usai pertemuan di Gedung Pusat Dakwah PP Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (8/11).
Foto: Republika/Wihdan
Presiden Joko Widodo (kanan) bersama Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengadakan konferensi pers usai pertemuan di Gedung Pusat Dakwah PP Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (8/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo untuk mendapatkan pandangan resmi dari Mahkamah Agung (MA) terkait status Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang kembali aktif sebagai gubernur DKI Jakarta usai cuti kampanye pilkada, meski menyandang status terdakwa.

Hal ini disampaikan oleh Haedar Nashir, ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat menemui Jokowi di Istana Negara. "Ini kan banyak tafsir. Bahkan Pak Presiden sendiri betul-betul memahami, menyadari banyak tafsir itu. Bahkan beliau meminta Mendagri untuk minta pandangan resmi dari MA," kata Haedar usai menemui Presiden Jokowi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (13/2).

Haedar pun meminta, jika sudah terdapat pandangan resmi dari MA maka Mendagri perlu melaksanakan pandangan tersebut. Pandangan dari MA ini diperlukan lantaran banyaknya pemahaman di masyarakat terkait hukum yang menyangkut Ahok tersebut.

"Nah kalau sudah ada pandangan resmi MA maka laksanakan apa yang menjadi pandangan resmi itu. Jadi saya pikir itu merupakan langkah yang cukup elegan, jadi di tengah banyak tafsir tentang aktif nonaktif ini, maka jalan terbaik adalah meminta fatwa MA, jadi fatwa MA, bukan fatwa MUI ya," ujarnya.

Haedar menegaskan, Muhammadiyah tetap bersikap patuh dan tunduk kepada hukum yang berlaku. Jika dalam aturannya diharuskan agar pejabat yang terjerat kasus hukum untuk dinonaktifkan sebagai gubernur, maka aturan tersebut harus dijalankan. Namun, jika terdapat perbedaan tafsir maka perlu terdapat otoritas yang memastikan aturan hukum tersebut.

"Tegakkan prinsip hukum yang memang sifatnya tegas, jadi kalau memang prinsip hukum dan dasar UU nonaktif ya nonaktif. Masalahnya kalau perbedaan tafsir harus ada otoritas yang memastikan itu. Jadi Muhammadiyah prinsipnya untuk semua kasus, kan bukan hanya DKI juga katanya ada Gorontalo dan sebagainya, tegakkan hukum sesuai dengan konstitusi yang berlaku," ujarnya.

Karena itu, Haedar berharap agar MA segera memberikan pandangannya terkait masalah ini. Sehingga terdapat kepastian hukum dan tidak menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat. Haedar juga mengingatkan agar masyarakat dapat memilih pemimpin yang bertanggungjawab, teladan, dan dapat mengelola masyarakat dan daerah.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement