REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Langkah Presiden Republik Indonesia Joko Widodo yang tidak memberhentikan sementara Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai gubernur DKI Jakarta dinilai merupakan tindakan maladministrasi. Hal tersebut dapat dilihat dari perspektif Undang-Undang Ombudsman dan Undang-Undang Pelayanan Publik.
Praktisi hukum Ikhsan Abdullah mengatakan status terdakwa sebagai pejabat publik tentu akan memengaruhi situasi pelayanan publik yang dijalankan oleh pejabat tersebut yang hari-hari tentu disibukkan dengan proses hukum yang harus dijalaninya di pengadilan. "Di samping keabsahan tindakannya bertali-temali dengan keabsahannya secara hukum administrasi, baik berkaitan dengan produk keputusannya maupun tindakannya yang sangat rawan untuk dipersoalkan keabsahannya (deligitimasi)," ujarnya kepada Republika.co.id, kemarin.
Dia mengatakan penafsiran dan perlakuan berbeda dalam kasus Ahok merupakan tindakan diskriminasi hukum dan tindakan yang dapat dikualifikasikan sebagai tindakan maladministrasi yang dilakukan Presiden. Pasalnya pelaksanaan pemberhentian gubernur merupakan kewajiban konstitusional Presiden untuk melaksanakan Pasal 83 UU No 23 Tahun 2014.
Pasal tersebut adalah ketentuan imperatif (bukan fakultatif), karena tidak ada frase kata ‘dapat’ di dalam teks pasal tersebut. "Ketentuan normatif itu mengharuskan Presiden untuk melaksanakan ketentuan pasal tersebut secara tegas tanpa diskriminasi," ujar Ikhsan.
Hal ini sesuai theori kedaulatan hukum, bahwa negara harus tunduk pada hukum, walaupun hukum itu sendiri merupakan hasil dari proses politik. Kepatuhan pada hukum adalah keniscayaan Republik Indonesia yang memposisikan diri sebagai negara atas hukum (rechtstaat) dan bukan negara kekuasaan belaka (machtstaat).
(Baca Juga: Ahok Diaktifkan Kembali, LBH Paham Dorong DPR Gunakan Hak Angket)
Dia menyebut tindakan pengabaian hukum merupakan pembangkangan kekuasaan Presiden atas UUD 1945 yang dapat merusak tatanan hukum dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut dia, Presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan yang harus menjalankan hukum berasas keadilan dan kepastian dan tidak diskriminatif serta tunduk kepada UUD 1945 sebagai konstitusi negara.
Demikian pula kedudukan warga negara semua sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Untuk itu, presiden dinilai wajib melaksanakan dan menjunjung tinggi hukum dan undang-undang. "Apabila Presiden melanggar hukum atau memberlakukan hukum secara diskriminatif, maka tindakan tersebut merupakan pelanggaran sumpah jabatan dan berakibat sangat serius bagi rusaknya tatanan hukum dan munculnya disharmoni sosial dan social distrust (ketidak percayaan) masyarakat," kata Ikhsan. Dan menurut dia, inilah titik dan benih kerawanan sosial yang semestinya disadari dan dihindari oleh Jokowi sebagai seorang presiden.