Rabu 15 Feb 2017 06:58 WIB

Ini 5 Argumentasi Hak Angket Pengaktifan Kembali Ahok

Rep: Qommarria Rostanti / Red: Ilham
Almuzzammil Yusuf - Ketua Bidang Polhukam DPP PKS
Foto: Republika/ Wihdan
Almuzzammil Yusuf - Ketua Bidang Polhukam DPP PKS

REPUBLIKA.CO.ID,‎ JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi II DPR, Almuzzammil Yusuf mengatakan, ada lima argumentasi mengajukan hak angket tentang pengaktifan kembali Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai gubernur DKI Jakarta. Pengaktifan kembali tersebut diduga kuat melanggar Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 23 Tahun 2014, khususnya Pasal 83 ayat 1,2, dan 3, serta Undang-Undang No.10 Tahun 2016 Pasal 70 ayat 3 dan 4, dan Peraturan KPU No.12 Tahun 2016 Pasal 61 A Ayat 3,4, dan 5.

Pertama, kata dia, kekuatan hak angket itu berdasarkan argumentasi bahwa baik didakwa pasal 156a KUHP maupun pasal 156 KUHP, pengaktifan kembali saudara Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur DKI Jakarta, diduga kuat bahwa presiden telah melanggar UU No 23 tahun 2014 Pasal 83 ayat 1,2 dan 3. 

Argumentasinya, kata Almuzzammil, jika Ahok didakwa pasal 156a KUHP dengan hukuman selama-lamanya lima tahun, maka dalam UU No 23 tahun 2014 pasal 83 ayat 1 disebutkan paling singkat lima tahun, yang berbunyi: Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak  pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan  lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jadi, pada sanksi pidana yang didakwakan terhadap Ahok ada irisan pada hukuman lima tahun. Ini jelas tidak multitafsir,” kata Master Ilmu Politik UI ini.

Kedua, apabila yang digunakan jaksa penuntut umum (JPU) adalah pasal 156 KUHP dengan ancaman hukuman empat tahun, maka perbuatan Ahok masuk pada kategori perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini sesuai dengan dakwaan JPU Ali Mukartono yang dibacakan pada 20 Desember 2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, yang berbunyi: Pernyataan dan isi kutipan buku tersebut (pernyataan Ahok tentang Almaidah:51) itu justru berpotensi menimbulkan perpecahan di kalangan anak bangsa, khususnya pemeluk agama Islam dan bahkan dapat menimbulkan persoalan baru.  

 Almuzzammil menyebut kutipan dakwaan JPU telah memenuhi maksud dari pasal 83 ayat 1 pada bagian terakhir, yaitu perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI.

Ketiga, kata Almuzzammil, pemberhentian sementara Ahok seharusnya tidak menunggu tuntutan JPU, tetapi cukup berdasarkan nomor register perkara IDM 147/JKT.UT/12/2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara sesuai dengan pasal 83 Ayat 2, yang berbunyi: kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (1) diberhentikan  sementara  berdasarkan register  perkara  di pengadilan. Dia mengatakan, dasar SK pemberhentian presiden terhadap Ahok adalah nomor register pengadilan bukan berdasarkan tuntutan yang dibacakan jaksa yang disampaikan oleh Mendagri.

"Jadi pemberhentian menunggu tuntutan tidak memiliki dasar hukum. Cenderung dipaksakan dan mengada-ngada,” kata Ketua Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) DPP PKS ini.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement