REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir menilai, politik di Indonesia sudah transaksional. Selain itu, kata dia, politik di Indonesia juga sudah sangat liberal.
"Proses liberalisasi dan transaksi politik inilah yang kemudian menyebabkan situasi kehidupan kebangsaan kita ini disandera oleh perilaku-perilaku politik pragmatis," kata Haedar kepada Republika.co.id di gedung PP Muhammadiyah, Selalsa (14/2).
Ia menerangkan, perilaku politik pragmatis mengabaikan moral, tidak peduli pada keteladanan dan ketenteraman sosial. Politik pragmatis juga hanya mempedulikan bagaimana caranya bisa berkuasa dan memenangkan kontestasi politik. "Proses politik liberal yang juga pragmatis itu, dia punya sifat kamuflase di dalam membangun kepemimpinan," ujarnya.
Ia menjelaskan, apa yang yang disebut dengan politik pencitraan (kamuflase) sejak dahulu sudah berkembang. Politik pencitraan contohnya, ada kepala daerah yang gajinya dibagikan, padahal dia tidak mempunyai penghasilan lain selain dari gajinya sebagai kepala daerah.
Artinya, dari mana kepala daerah tersebut mendapatkan penghasilan kalau bukan dari gajinya. Bisa-bisa kepala daerah yang gajinya dibagikan memperoleh kekayaan dari luar yang jauh lebih besar dari gajinya. "Itu menimbulkan transaksi politik di belakang panggung, kelihatannya ada Robin Hood yang akan menjadi pemimpin bangsa, tidak mau menerima gaji," katanya.
Ia menambahkan, kecuali kepala daerah tersebut sudah kaya sejak awal maka masih masuk akal jika gajinya dibagikan. Tapi kalau kepala daerahnya biasa saja penghasilannya, di belakang bekerja sama dengan korporasi lalu mendapatkan penghasilan lebih banyak. "Ini politik kamuflase dan transaksional," ujarnya.