REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengecam laporan dari intelijen negara yang beredar di beberapa media, salah satunya di The New York Times. Di sana, dikatakan ia dan tim kampanye pada 2016 cukup sering melakukan kontak dengan Rusia.
Dalam berita tersebut juga disebutkan sejumlah asisten Trump melakukan komunikasi sebelum pemilu AS pada 8 November 2016 berlangsung. Nampaknya, intelijen meyakini Rusia berupaya mempengaruhi suara pada pemilihan untuk memenangkan miliarder itu.
Trump mengatakan Badan Keamanan Nasional (NSA) dan FBI telah memberi informasi secara ilegal. Ia menegaskan hal itu hanyalah upaya dari lawan-lawan politiknya, khususnya Partai Demokrat.
"Informasi ilegal diberikan oleh NSA dan FBI dan ini hanyalah upaya menutupi banyak kesalahan yang dibuat saat kampanye Hillary Clinton yang gagal," ujar Trump melalui aku jejaring sosial Twitter, dilansir BBC, Rabu (15/2).
Komunikasi yang nampaknya disadap antara tim kampanye Trump dan sejumlah pihak di Rusia, termasuk pejabat serta intelijen menunjukkan komunikasi memang dilakukan secara berkala. Namun, tidak ada bukti ada kerja sama yang dilakukan untuk mempengaruhi hasil pemilu.
Salah satu dari tim kampanye Trump yang diduga melakukan pembicaraan telepon dengan pejabat intelijen Rusia adalah Paul Manafort. Ia adalah ketua tim kampanye dan pernah bekerja sebagai konsultan politik di Rusia dan Ukraina.
Namun, ia membantah melakukan kontak dengan intelijen Rusia dan pihak pemerintah negara itu. Manafort juga menegaskan dirinya tidak memiliki kedekatan khusus untuk membela kepentingan Rusia.
"Ini bukan seperti apa yang orang-orang dengan menggunakan lencana mengatakan saya adalah seorang petugas intelijen Rusia," kata Manafort.
Rusia juga menolak laporan yang beredar. Moskow mengatakan tidak pernah ada kontak yang dilakukan tim kampanye Trump, termasuk bukti terhadap hal itu.
"Laporan terbaru mengenai kontak tim kampanye Trump dengan Rusia tidak didasarkan sedikitpun pada fakta-fakta," kata Juru Bicara Kremlin, Dmitry Peskov.