REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa angka rasio utang Indonesia masih dalam batas aman. Dalam paparannya di depan ribuan sivitas akademika Universitas Diponegoro Semarang, Sri Mulyani menyebutkan bahwa rasio utang Indonesia menurun.
Rasio utang Indonesia, menurut Menkeu, turun dari 32 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Tahun 2006 menjadi 27,5 persen terhadap PDB 2016. Angka ini di bawah 'batas aman' rasio utang di angka 30 persen.
"Jepang jumlah utang 2,5 kali lipat dari jumlah ekonominya," ujar Sri, Kamis (16/2) petang.
Selain itu, rata-rata defisit fiskal Indonesia dalam satu dekade terakhir juga tercatat 1,5 persen dari PDB. Meski mengalami defisit fiskal, Sri menegaskan bahwa pada dasarnya pemerintah tidak hobi menarik utang.
Menkeu juga menilai bahwa angka defisit fiskal Indonesia masih jauh lebih rendah dibanding negara lain seperti India yang rela mengalami defisit hingga 7,7 persen demi mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 7,5 persen.
Contoh lain, Prancis yang mengalami defisit 4,4 persen dengan pertumbuhan ekonomi yang hanya 0,9 persen. Artinya, lanjutnya, Indonesia masih lebih mending dengan defisit fiskal 1,5 persen dan rata-rata pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen dalam 10 tahun belakangan.
Menkeu meyakini Indonesia masih memiliki modal kuat untuk menjaga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sehat. Lebih rinci lagi, mengacu pada rasio utang Indonesia, maka utang perkapita Indonesia sebesar 997 dolar AS atau setara dengan Rp 13,3 juta. Angka menunjukkan bahwa setiap individu di Indonesia menanggung utang negara sebesar Rp 13,3 juta.
"Capaian Indonesia masih lebih baik. Bandingkan dengan Jepang utang per kapita 85.635 dolar AS. Atau di Amerika sendiri, setiap kepala di sana menanggung utang 62 ribu dolar AS," katanya.
Catatan pemerintah, posisi utang Indonesia tahun 2016 sebesar Rp 3.466,9 triliun. Sri melihat, meski masih aman namun pemerintah tetap memonitor perkembangan ekonomi global terutama kebijakan ekonomi Amerika Serikat (AS).
Sedangkan di sisi internal, Sri memandang bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dikelola secara baik agar kredibilitas pemerintah dalam menyusun anggaran tetap terjaga.