REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah era kerasulan, Nabi Muhammad tetap memperhatikan Syam untuk menjadi salah satu medan dakwah. Di antara banyak surat yang ditulis untuk para pembesar negeri, Rasulullah juga mengirimkannya kepada penguasa negeri Bashra, Syam.
Sayangnya, surat tersebut tak sampai karena utusan Rasul dihadang musuh di kawasan Mu’tah, bagian selatan Yordania. Al-Harits bin ‘Amir Al-Azdy merupakan sang utusan pembawa surat yang dipenggal lehernya di wilayah tersebut.
Peristiwa ini pun sangat membuat nabi sedih, mengingat baru kali ini seorang utusan diperlakukan keji, bahkan hingga terbunuh. Maka, pembunuhan ini menjadi pernyataan perang negeri Bushra. Meletuslah Perang Mu’tah akibat insiden tersebut.
Sirah Nabawiyyah menyebutkan, Perang Mu’tah terjadi pada Jumadil Awal tahun ke-8 hijriah. Rasulullah mengirimkan pasukan yang terdiri atas 3.000 personel dengan pimpinan Zaid bin Haritsah yang merupakan putra angkat nabi. Disebutkan, Rasulullah menasihati pasukan untuk mendatangi tempat terbunuhnya sang utusan, Al-Harits, kemudian mendakwahkan Islam di sana sebelum menghunuskan pedang.
Jika pihak lawan tetap menolak maka perang dimulai. “Berperanglah kalian dengan nama Allah dan di jalan Allah. Bunuhlah orang yang melakukan kekafiran kepada Allah. Janganlah kalian menipu dan mencuri harta rampasan perang. Jangan pula membunuh anak-anak, wanita, dan orang-orang yang sudah tua renta. Juga, janganlah kalian merusak tempat ibadah mereka, menebang pohon kurma dan pohon apapun, serta jangan merobohkan bangunan,” sabda Rasul menasihati etika berperang.
Di pihak lawan, Syam saat itu dikuasai Romawi. Dipimpin Heraklius, pasukan lawan terdiri atas 100 ribu pasukan Romawi ditambah 100 ribu pasukan dari masyarakat Arab setempat. Sungguh jumlah yang tak seimbang dengan pasukan Muslimin yang hanya 3.000 orang saja. Namun, pertempuran tak seimbang tersebut tetap terjadi. Zaid gugur dalam peperangan.
Kepemimpinan pasukan pun dipegang Ja’far bin Abi Thalib. Namun, dia pun tewas. Kemudian, kepemimpinan digantikan Abdullah bin Rawahah. Sang pemimpin pun kembali tewas hingga akhirnya pasukan dipimpin Khalid bin Walid, sang pedang Allah. Dengan strategi baru Khalid dan pasukan Muslimin pun memenangkan pertempuran.