REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Ribuan umat Katolik Roma melakukan unjuk rasa di Ibu Kota Filipina, Manila pada Sabtu (18/2). Ini merupakan unjuk rasa yang paling besar menentang pembunuhan ekstra-yudisial dan upaya pemerintah untuk menerapkan kembali hukuman mati bagi para pelaku kriminal.
Unjuk rasa yang bernama "Berjalan untuk Kehidupan" ini digerakkan oleh Catholic Bishops Conference of the Philippines (CBCP). Unjuk rasa dilakukan hanya sehari setelah gereja meluncurkan serangan terkuat melawan kebijakan perang terhadap narkoba yang dilaksanakan oleh Presiden Rodrigo Duterte.
Penyelenggara unjuk rasa mengklaim sebanyak 50 ribu orang ikut melakukan unjuk rasa menentang kebijakan Duterte di Taman Rizal, Manila. Namun, polisi memperkirakan jumlah warga yang unjuk rasa hanya sekitar 10 ribu.
Lebih dari 7.600 orang telah dibunuh sejak Duterte menyatakan perang terhadap narkoba tujuh bulan lalu. Lebih dari 2.500 orang tewas ditembak saat dilakukan operasi terhadap pembasmian narkoba. Ini berdasarkan data kepolisian.
Kebanyakan korban tewas akibat perang terhadap narkoba adalah orang-orang miskin. Oleh karena itu, Gereja Katolik meminta agar pembunuhan itu segera dihentikan.
Dalam surat pastoral CBCP yang dibacakan di berbagai gereja di Filipina bulan ini disebutkan, membunuh orang bukanlah jawaban bagi mengatasi penjualan obat-obatan terlarang. Namun, Duterte mengatakan, kebijakannya tersebut sukses besar. Menurutnya, masalah obat-obatan terlarang jauh lebih kompleks dan berat daripada yang ia pikirkan. Oleh karena itu ia mencari bantuan militer.
"Saya membutuhkan bantuan dari kalian semua. Terutama anggota militer, bantuan ini bukan untuk melakukan kontrol sosial, namun untuk melindungi rakyat dari pihak-pihak yang tak peduli dengan hukum, ugal-ugalan, dan egois," ujar Duterte.
Duterte juga mengecam gereja yang memotori unjuk rasa. Ia menyebut gereja penuh dengan omong kosong dan institusi paling hipokrit. "Saya akan tetap menyelamatkan generasi Filipina dari kejahatan penjual narkoba," katanya.
Baik Pemerintah Filipina dan polisi menampik jika disebut telah melaksanakan pembunuhan ekstra-yudisial. Namun, kelompok HAM meyakini jika banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh pembunuh yang mungkin berkolusi dengan polisi.