REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Freeport Indonesia berniat memberhentikan karyawannya menyusul tidak beroperasinya perusahaan tambang tersebut. Sejak 12 Januari 2017 PTFI belum mengekpor konsentrat karena tidak bersatus Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Sejauh ini masih terjadi tarik menarik antara PTFI dengan pemerintah. Belum ada kata sepakat dari kedua kubu mengenai implementasi PP 1 Tahun 2017.
"Langkah selanjutnya, Minggu ini kami akan stop karyawan kontrak. Dari 30 ribu karyawan, 12 ribunya langsung karyawan kontrak kami," tutur Presiden dan CEO Freeport-McMoran Inc Richard C Anderson di Hotel Fairmont, Jakarta, Senin (20/2).
Ia menerangkan jumlah karyawan asing di PTFI di bawah 10 persen. Sementara pekerja nasional sekitar 97-98 persen.
"Kami tidak ada perbedaan dengan karyawan nasional, jadi kami lakukan juga ke ekspatriat. Tapi 97-98 persen karyawan kami nasional termasuk jumlah yang cukup besar untuk Papua," tutur Richard.
Ia menegaskan kebijakan korporasinya tersebut bukan untuk menekan pemerintah. PTFI jelas Richard akan terus berdialog mencari solusi terbaik bagi kedua kubu.
"Kami berkomitmen untuk tetap di Indonesia. Ini sumberdaya yang penting bagi Freeport, juga objek penting bagi pemerintah dan Papua khususnya," ujarnya.
PTFI menurut Richard berkontribusi 90 persen untuk perekonomian Timika. Kemudian menyumbang sepertiga ekonomi Papua.
"Selama sisa kontrak Indonesia akan terima lebih dari 40 miliar dolar AS, aset ini terlalu besar untuk kami keluar, yang kami butuh cari solusi untuk kerja sama dan kami komitmen tetap bekerjasama dengan pemerintah," ujarnya.