REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah pelantikan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, bayang-bayang ekonomi Eropa yang tak stabil menambah risiko eksternal yang bisa mempengaruhi ekonomi Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, sejak 2014 sebetulnya faktor eksternal cukup dominan dalam mempengaruhi kondisi ekonomi dalam negeri. Teranyar, risiko eksternal berasal dari krisis ekonomi lanjutan yang dialami Yunani pada 2017 ini.
Ia mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi dunia menunjukkan tren penurunan secara kontinyu sejak 2009 atau setahun setelah krisis ekonomi global pada 2008. Tahun 2016 lalu, pertumbuhan ekonomi dunia menyentuh jurangnya yang terdalam di angka 3,1 persen. Banyak konsultan dan lembaga keuangan dunia yang memproyeksikan angka pertumbuhan ekonomi global akan mulai pulih pada 2017-2018 nanti.
Sri juga menambahkan, merosotnya harga komoditas seperti pertambangan dan perkebunan ikut memperburuk keadaan. Indonesia yang cukup tergantung dengan penerimaan dari sektor migas, pertambangan, dan perkebunan, lumayan terpukul dengan anjloknya harga minyak dunia atau harga batu bara. Sejak 2014, kinerja ekspor impor Indonesia tercatat negatif, sebelum mulai menunjukkan pemulihan di kuartal keempat 2016 lalu hingga sekarang.
Setelah rentetan tekanan eksternal dalam satu dekade belakangan, ternyata risiko masih ada. Sri menyebutkan, sejumlah risiko eksternal yang masih dimonitor pemerintah adalah rencana kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS atau The Federal Reserve, efek lanjutan dari Brexit (keluarga Inggris dari Uni Eropa), dan kebijakan proteksionisme yang dijalankan Trump untuk ekonominya.
Isu terbaru yang Sri waspadai adalah kembali terulangnya krisis ekonomi Yunani yang pada 2015 mencapai puncaknya. Ia menjelaskan dalam kurun waktu tiga bulan ke depan dunia akan kembali melihat perkembangan terkini soal penyelamatan Yunani. Apalagi, tiga negara Eropa yakni Jerman, Prancis, dan Belanda menghelat pemilihan umum di tahun ini.
"Kondisi ini akan membuat semuanya lebih rumit bagi Yunani. Menjelang Pemilu, biasanya sentimen akan mengeras. Jadi ketidakpastian di Eropa akan meningkat Juni-Juli mendatang," kata Sri di kompleks DPR/MPR, Senin (20/2).
Sebagai informasi, ekonomi Yunani telah mengalami resesi selama bertahun-tahun. Produk Domestik Bruto (PDB) Yunani sepat anjlok nyaris 30 persen, dari 354 miliar dolar AS di tahun 2008 menjadi hanya 242 miliar dolar AS pada 2013. Sementara utang Yunani pada 2015 juga tercatat sebesar 323 miliar euro, di mana 66 persennya merupakan dana talangan dari negara anggota Uni Eropa.
Selain itu, Indonesia juga masih rentan terkena imbas dari upaya Cina untuk menyeimbangkan lagi pertumbuhan ekonominya. Artinya, sepanjang tahun ini faktor eksternal masih menyumbangkan risiko yang cukup dominan. Sedangkan di sisi internal atau dalam negeri, Sri meyakini pekerjaan rumah terberat pemerintah masih berupa kemiskinan dan kesenjangan ekonomi.
Mengatasi tantangan dari sisi internal, Sri mengatakan, pemerintah berupaya menjaga defisit anggaran di tahun ini di angka 2,41 persen. Defisit fiskal, menurutnya, berfungsi untuk meminimalkan pengaruh kondisi global yang stagnan negtaif dari kinerja ekpsor impor yang lesu.
Tetap adanya defisit fiskal membuat pemerintah harus menarik utang untuk menambal belanja di dalam negeri. Sri menyebutkan, rasio utang Indonesia masih lebih baik dibanding negara lainnya. Pada 2016 lalu, rasio utang Indonesia tercatat sebesar 28 persen dari angka PDB, atau masih di bawah batas aman yang ditetapkan yakni 30 persen.
Sebagai perbandingan, rasio utang Yunani yang menyentuh 200 persen dari PDB-nya, dengan defisit fiskal menyentuh 4,2 persen. Sementara Jepang memiliki rasio utang hingga 250 persen dengan pertumbuhan ekonomi hanya di level 1 hingga 2 persen.