Selasa 21 Feb 2017 00:24 WIB

Demokrasi Mati Jika Ulama Kritis Dikriminalisasi

KH Athian Ali
Foto: dok. pribadi
KH Athian Ali

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: KH Athian Ali  *)

Bangsa ini, khususnya Ummat Islam Indonesia, tengah mengalami dan menghadapi ragam cobaan serta ujian. Setelah sebelumnya, dituduh dengan intoleransi, radikal, antikebinekaan hingga anti-NKRI, dan terakhir adalah adanya dugaan kriminalisasi ulama dan aktivis Islam. Kondisi ini sangat memprihatinkan umat Islam dimana mereka tinggal di negeri yang mayoritas bahkan negeri penduduk Muslim terbesar di dunia, namun justru mendapat perlakukan yang tidak islami.

Kondisi ini menimbulkan rasa keprihatinannya. Namun, sebagai seorang yang berimanan, maka sebuah ujian dan cobaan itu adalah sebuah keniscayaan sebagaimana yang telah Allah SWT sebuat bahwa Allah akan menguji orang-orang yang beriman.

Terkait dengan adanya ulama yang dilaporkan kemudian diproses hukum, tentu kita semua menghormati. Namun, pemerintah khususnya aparat penegak hukum juga harus adil dan jujur kepada kasus yang lain. Sebagai warga negara tentu sepakat bahwa hukum harus dijunjung tinggi dan semua sama didepan hukum artinya tidak ada yang kebal hukum (diistimewakan). Hanya saja jika terkesan ada nuansa atau unsur politik yang lebih dominan ketimbang murni masalah hukum tentu tidak bisa dibiarkan.

Adanya anggapan atau indikasi kriminalisasi ulama, menjadi wajar mengingat yang bersangkutan (khususnya Habib Rizieq, red) sebelumnya begitu aktif dalam meminta agar penista agama (Ahok) diadili bahkan menjadi inisiator Aksi Bela Islam hingga akhirnya Ahok ditetapkan sebagai tersangka dan saat ini menjalani sidang. Tiba-tiba banyak sekali laporan atau masalah yang disangkakan kepada yang bersangkutan dan ditangani pihak kepolisian yang relatif cepat.

Ceramah yang sudah enam tahun tiba-tiba dilaporkan dan dipermasalahkan. Selain itu, ada perkara yang sudah di SP3-kan tiba-tiba akan dibuka atau dilanjutkan kembali. Dugaan penyerobotan tanah negara hingga masalah tesisnya dimana hingga saat ini Habib Rizieq dilaporkan hingga enam perkara dalam waktu yang berdekatan.

Wajar jika ada anggapan dari masyarakat bahwa ini ada unsur politiknya. Ini bukan hanya pada satu tokoh saja, tetapi ada beberapa yang dilaporkan. Ada dituduhkan melecehkan adat daerah tertentu, ada yang dituduh menghimpun dana untuk ISIS dan sebagainya. Wajar jika ada anggapan apakah ini betul-betul ingin menegakkan hukum atau ada pesanan atau tekanan politik tertentu.

Seharusnya, hukum jangan dipolitisir atau alat untuk membungkam sikap kritis ulama kepada pemerintah atau penguasa. Jika itu terjadi, maka wajar jika umat membela ulamanya. Kritik itu positif jika disertai dengan fakta dan data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Jika pemerintah menutup rapat-rapat sikap kritis maka bahaya betul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini.

Sebab, jika semua orang terdiam terhadap kesalahan  maka ini alamat kehancuran suatu bangsa. Pemerintah sudah tidak mempunyai alat kontrol.  Jangan sampai suara kritis dikriminalisasi.

Padahal, pintu demokrasi dengan kebebasan menyatakan pendapat baik lisan dan tulisan yang dapat dipertanggungjawabkan maka harus diberi ruang dan kesempatan. Menukil gambaran Rasulullah SAW dalam kehidupan bermasyarakat: Ibarat kehidupan dalam masyarakat itu seperti orang yang naik perahu atau kapal. Ada yang di bawah dan ada yang di atas. Fasilitas ada di bagian atas termasuk makanan dan minuman. Ketika persediaan minum penumpang yang di bawah sudah habis dan meminta kepada penumpang yang diatas tidak dipedulikan. Sudah diingatkan untuk memperhatikan penumpang yang dibawah sudah tidak dihiaraukan. Intinya tutup mata dan telinga. Karena tidak ada pilihan lain maka penumpang yang dibawah terpaksa membocori atau melubangi dinding kapal dengan harapan segera dapat air. Akhirnya benar, air itu didapat, namun risikonya kapal akan tenggelam dan semua penumpang akan ikut tenggelam.

Tentu kita berharap tamsil Rasulullah SAW ini jangan sampai terjadi di negeri Indonesia ini. Ketika tidak ada lagi saluran untuk menyuarakan kebenaran dengan kritik dan sebagainya atau yang munkar sudah merajalela. Orang kritis takut dan enggan bicara karena bisa dipenjarakan maka semua diam dan bungkam maka sama saja dengan membiarkan orang yang melubangi dinding kapal tersebut.

Situasi tersebut tentu tidak kita inginkan karena kapal (negeri) ini akan tenggelam. Dalam hidup yang katanya Negara menganut prinsip demokrasi itu jika jujur harus dilaksankan. Jangan biarkan masyarakat menjadi takut untuk berpendapat, kritik dan beda pendapat karena bisa dikriminalkan atau penjara.

Kita sering mendengar klaim orang-orang FPI itu keras dan tegas bahkan anarkis terhadap kemaksiatan. Padahal mereka sudah menempuh jalurnya, mengingatkan, mengajak hingga melaporkan kepada aparat penegak hukum. Kemudian aparat hanya mendiamkan saja tanpa mengambil tindakan.  Apakah masyarakat diminta untuk diam dalam melihat kemunkaran?. Katanya masyarakat diminta untuk andil dalam menciptakan ketertiban dan kemanan namun ketika aktif justru dianggap melanggar prosedur.

Kembali ke aksi bela Islam, sebenarnya jika pelakunya (Ahok) segera ditangani dan diproses hukum sesuai dengan koridor hukum yang ada, maka sudah selesai tanpa harus mengulur waktu yang memicu bangkitnya umat Islam untuk membela agamanya. Karena, setiap ada tindakan pelecehan, penodaan atau penistaan agama (Islam) memang ada, namun skalanya lokal dan kecil. Misal aksi agar Lia Eden diprose, Arswendo, Mosadeq dan sebagainya. Langsung diproses oleh aparat dan ummat segera menghentikan aksinya. Namun kasus Ahok ini seperti mau ada pembiaran atau tidak diproses secara hukum maka ummat bangkit untuk membelanya.

Kita berharap hukum ditegakkan namun jangan ada unsur politik. Dari segi hukum masyarakat tidak ingin mencampuri hanya dari sisi momen ini yang membuat masyarakat menjadi bertanya. HRS ini salah satu tokoh yang mencoba menggerakkan aksi bela Islam kemudian dalam tempo tidak begitu lama tiba-tiba harus menghadapi perkara yang demikian banyak (Polda Jabar dan Polda Metro Jaya) demikian juga dengan tokoh lainnya.

Ini momen tidak pas, seperti anak terjatuh dan berdarah dimarahi momen nasihat yang kurang pas. Demikian juga momen penegakkan hukum tersebut yang membuat masyarakat bertanya-tanya. Sebagai seorang Muslim punya kewajiban untuk membentengi umat dari pengaruh-pengaruh buruk terhadap akidah dan amaliahnya.

Sebagai warga Negara punya perhatian sekaligus tanggung jawab untuk menjaga kerukunan, kedamaian, kondusivitas, keutuhan NKRI dalam bingkai kebinekaan, kita mengharapkan hubungan yang harmonis antara pemerintah dengan aparat, masyarakat termasuk ulama. Konflik horizontal dalam masyarakat tidak ada yang diuntungkan.

Untuk itu, pemerintah khususnya aparat penegak hukum jujur dan serius, dalam menangani setiap pelanggaran hukum dan jangan ditunggangi unsur politik. Keseriusan dalam penegakkan hukum ini penting, sebab jika masyarakat sudah tidak lagi percaya pada supremasi hukum, maka wibawa pemerintah akan jatuh.

Ketua Umum Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement