REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah pelemahan perekonomian sejumlah negara maju baik di Amerika Serikat maupun di Eropa, pasar nontradisional seperti di Asia dan Afrika harus menjadi target utama dalam mempertahankan laju barang ekspor.
Berdasarkan data yang dihimpun, Presiden Joko Widodo menilai kinerja perdagangan Indonesia untuk pasar ini masih belum bagus. Meski produk dari Indonesia baik itu barang mentah ataupun setengah jadi sudah mulai masuk, tapi jumlahnya masih sedikit.
"Kita selalu berkutat pada pasar-pasar tradisional kita, pasar-pasar lama kita sepert Amerika, Jepang, Cina, dan Eropa. Kita tahu pasar ini besar, tapi kita harus mengembangkan pasar-pasar baru," kata Jokowi di Istana Negara, Selasa (21/2).
Dia menilai kinerja dalam perdagangan luar negeri juga belum banyak terbantu oleh Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) yang banyak tersebar. Belum ada inovasi dari masing-masing ITPC yang mempu mendongkrak daya jual produk Indonesia. Padahal melalui ITPC yang menjadi perwakilan Pemerintah, seharusnya bisa melakukan negosiasi, bertransaksi, dan mencari celah agar produk dalam negeri bisa dimintai oleh negara tersebut.
Pasar nontradisional seperti di Afrika yang memiliki potensi mencapai 550 miiar dolar AS, belum tersentuh maksimal karena Indonesia baru mampu berkontribusi sebesar 4,2 miliar dolar AS. Ini memperlihatkan bahwa potensi Indonesia masih tinggi untuk masuk ke Afrika.
Hal serupa terjadi di kawasan Timur Tengah. Indonesia baru bisa menerobos pasar di sana mencapai lima miliar dolar AS, sedangkan potensinya mencapai 975 miliar dolar AS. Pasar di negara India yang sedang menggeliat juga tidak pernah diseriusi oleh Indonesia. Dari potensi sebesar 375 miliar dolar AS, Indonesia baru bisa berpartisipasi sebesar 10,1 miliar dolar AS.
"Ini juga saya kira hanya komoditas seperti batu bara dan CPO yang masuk. Tidak pernah ada yang lain yang diurus," ungkap Jokowi.
Jokowi juga meminta agar Kementerian Perdagangan bisa melihat negara-negara yang mungkin tidak terlalu besar tapi mulai membaik perekonomiannya dan membutuhkan produk impor. Seperti Pakistan yang mempunyai potensi perdagangan mencapai 44 miliar dolar AS, tapi baru bisa dimasuki barang Indonesia dua miiar dolar AS. Kemudian Bangladesh dengan pasar mencapai 41 miliar dolar dan Sri Lanka 19 miliar dolar AS.