REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi Sumatra Barat, bekerja sama dengan Yayasan Gemar Membaca Indonesia (Yagemi), akan menggelar Minang Book Fair 2017. Pameran buku tersebut akan dihelat pada 24 Februari hingga 5 Maret 2017 mendatang.
Ajang yang untuk pertama kali diadakan di Sumatra Barat ini mengambil tema “Mambangkik Batang Tarandam.” Itu merupakan pepatah-petitih khas Minangkabau.
Menurut guru besar Universitas Negeri Padang, Prof Harris Effendi Thahar, secara harfiah, ungkapan tersebut berarti, “mengangkat batang pohon yang telah direndam.”
Sastrawan Angkatan 2000 itu menjelaskan, pada zaman dahulu nenek moyang Minangkabau memiliki tradisi merendam batang kayu yang akan menjadi bahan dasar membangun rumah gadang. Tujuannya, agar kayu tersebut dapat bertahan lama hingga. Dengan begitu, rumah gadang tempat tinggal pun diharapkan kokoh berdiri dari satu generasi ke generasi-generasi berikutnya.
“’Membangkik batang tarandam’, dengan demikian, bermakna ‘membongkar kekayaan lama.’ Maksudnya, lebih-kurang, kita membangkitkan tradisi lama sebagai kekayaan budaya bangsa,” kata Harris Effendi Thahar saat dihubungi dari Jakarta, Senin (20/2). Ia menghubungkan pepatah-petitih itu dengan sejarah bangsa Indonesia, khususnya Minangkabau.
Sejarah mencatat, pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, para figur penting Minangkabau lahir. Mereka kelak berperan besar sebagai pendiri bangsa.
Untuk menyebutkan beberapa nama, misalnya Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Sutan Ibrahim (Tan Malaka), Haji Agus Salim, dan Mohammad Natsir. Selain pahlawan nasional, Ranah Minang juga melahirkan sosok-sosok sastrawan dan budayawan Indonesia. Mereka antara lain, Marah Roesli, Abdul Muis, Sutan Takdir Alisjahbana, Idrus, AA Navis, Prof Hamka, Rosihan Anwar, dan Taufiq Ismail. Karya-karya mereka masih dibaca sampai zaman kini.
Munculnya generasi yang unggul demikian, lanjut Effendi Thahar, merupakan dampak dari tingginya budaya literasi yang ditanam sejak dini. Bagi mereka, membaca dan menulis telah menjadi kebiasaan yang terus dipelihara sepanjang hayat.
Effendi Thahar memandang, inilah sebuah “kekayaan lama” orang Minangkabau yang perlu dibangkitkan kembali. Dia berharap, tema Minang Book Fair 2017 bukan sekadar slogan. Keberlanjutan generasi muda Minang yang cinta literasi tidak boleh terputus.
“Itulah aset-aset lama yang ‘terendam’ selama ini, sehingga perlu kita bongkar lagi. Dan, dengan adanya book fair ini, diharapkan bisa kembali tradisi literasi itu,” ucap guru besar bidang pendidikan bahasa dan sastra Indonesia ini.
Menurut Effendi Thahar, situasi budaya literasi di Sumatra Barat cukup baik dalam beberapa dasawarsa ini. Bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain, provinsi ini cukup berkembang dalam melahirkan penulis-penulis yang potensial.
Khusus Sumatra Barat, lanjut dia, ada sedikit perubahan. Dahulu, pusat-pusat aktivitas sastra cenderung berpusat di Padang. Kini, mereka lebih tersebar cukup merata. Selain itu, perkembangan teknologi komunikasi juga dinilainya meningkatkan dinamika literasi di Ranah Minang. Effendi Thahar berpendapat, geliat konsumsi buku di Sumatra Barat masih cukup baik.
“Sekarang (aktivitas kesusastraan) lebih menyebar di beberapa kota, semisal Payakumbuh, Bukittinggi, atau Padang. Kalau dulu kan, memusat di Padang. Kemudian, media-media semakin banyak. Termasuk media sosial atau internet.”
“Jadi, saya merasa, di samping daerah-daerah lain berkembang pesat (di Indonesia), demikian pula dengan Sumatra Barat,” tukas dia.