REPUBLIKA.CO.ID, Nama Syekh Abdul Qadir al-Jailani (1077-1168 M), cukup populer di publik Tanah Air. Tokoh bermazhab Hanbali ini adalah guru sufi dengan beragam gelar antara lain ‘sulthan al-awliya’(pemimpin para wali) dan ‘taj al-arifin’ (mahkota para ahli makrifat).
Namun, tahukah Anda jika Syekh al-Jailani, tak hanya mewariskan khazanah intelektual berupa tradisi sufi dan Tarekat Qadiriyah, tetapi juga mewariskan salah satu peninggalan berharga, yaitu Perpustakaan Masjid al-Qadiriyah yang terletak di ibu kota Irak, Baghdad.
Perpustakaan yang didirikan Abu Said al-Mubarak al-Mukharami, qadi terkemuka di Baghdad pada masa itu, menjadi salah satu perpustakaan terpenting dan tertua yang masih bertahan di Baghdad. Setelah al-Mukharami wafat, manajemen perpustakaan ini secara total diserahkan kepada Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
Tak kurang dari 68 ribu kitab berbagai disiplin ilmu dan sebanyak 1,700 di antaranya masih berbentuk manuskrip yang berasal dari masa Dinasti Abbasiyah.
Sebagian besarnya adalah karya-karya yang berhasil selamat dan tercecer di Sungai Tigris dari amukan pasukan Holagu Khan, saat membumihanguskan bumi Baghdad pada 1258 M.
Perpustakaan ini juga sempat mengalami beberapa kali kerusakan, ketika Baghdad jatuh di tangan Dinasti Safawiyah pada 1509 dan saat konflik berkecamuk antara Safawiyah dengan Ottoman pada 1623 M.
Beruntung, pada masa modern, Abdurrahman an-Naqib al-Kailani, presiden Irak pertama, segera merenovasi dan menyelamatkan koleksi-koleksi perpustakaan tersebut.
Ia bahkan rela merogoh koceknya sendiri demi membiayai penyelamatan koleksi yang ada di perpustakaan itu; melibatkan penulis naskah dari berbagai negara, Suriah, Mesir, Turki, dan lainnya, serta membeli kertas-kertas langsung dari India dan Cina.
Ketika Agresi AS atas Irak pada 2003, banyak manuskrip dan kitab langka tak luput dari aksi pencurian dan kebakaran, namun pihak Perpustakaan al-Qadiriyah beruntung telah mengantisipasi dengan menyimpan koleksi mereka di ruang penyimpanan yang aman.