REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Kandidat presiden dari partai sayap kanan Perancis, Front Nasional, Marine Le Pen membatalkan pertemuan dengan mufti agung Lebanon pada Selasa (21/2), setelah menolak untuk mengenakan penutup kepala dalam pertemuan itu.
Setelah bertemu Presiden Michel Aoun dan Perdana Menteri Saad al-Hariri pada Senin (20/2), Le Pen telah dijadwalkan bertemu Grand Mufti Sheikh Abdul Latif Derian. Ia mengepalai Dar al-Fatwa, otoritas agama tertinggi untuk Muslim Sunni di negara multireligi seperti Lebanon.
"Saya bertemu dengan mufti agung Al-Azhar. Otoritas Sunni tertinggi tidak memiliki persyaratan ini (memakai penutup kepala, red), tapi itu tidak masalah," kata Le Pen kepada wartawan, dilansir dari Reuters, Rabu (22/2) mengacu pada kunjungan ke Kairo tahun 2015.
Le Pen, salah satu di antara kandidat presiden, melakukan kunjungan dua hari ke Lebanon untuk memperkuat mandat kebijakan luar negerinya sembilan pekan jelang putaran pertama 23 April 2017 mendatang. Strategi ini sebagian juga mungkin untuk menargetkan pemilih potensial Franco-Lebanon.
Banyak orang Lebanon melarikan diri ke Perancis, yang merupakan bekas negara penjajah mereka, selama perang sipil 1975-1990 dan menjadi warga negara Prancis.
"Anda dapat menyampaikan hormat saya kepada Mufti, tapi aku tidak akan mengenakan penutup kepala," lanjutnya.
Kantor berita mufti agung Lebanon mengatakan pembantu Le Pen telah diberitahu sebelumnya bahwa ia diminta mengenakan penutup kepala dalam pertemuan itu. Mereka terkejut dengan penolakannya.
Tapi, itu tidak mengherankan dalam kancah perpolitikan Prancis. Hukum Perancis melarang penggunaan penutup kepala bagi perempuan muslim di tempat publik dan lembaga pendidikan. Le Pen ingin memperluas larangan ini untuk semua tempat umum, yang diperkirakan akan mempengaruhi umat Islam kebanyakan.