REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo melalui Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, mengumumkan kepada publik Keputusan Presiden tentang Panitia Seleksi (Pansel) Hakim Konstitusi sekaligus mengumumkan Pendaftaran Calon Hakim Konstitusi di media massa. Adapun komposisi Pansel Hakim Konstitusi diisi oleh Harjono (Ketua), Todung Mulya Lubis, Sukma Violetta (Wakil ketua Komisi Yudisial), Maruarar Siahaan, Ningrum Sirait.
Ketua Umum Perhimpunan Bantuan Hukum & HAM Indonesia (PBHI) Totok Yuliyanto mengatakan seleksi Hakim Konstitusi harus berperspektif bahwa Hakim Konstitusi nantinya akan menjalankan fungsi MK sebagai pengawal (the guardian) dan penafsir (the interpreter) konstitusi, yang memberikan tanggung jawab teramat besar bagi para hakim konstitusi. Oleh karena itu disyaratkan harus seorang negarawan.
"Sebagaimana dalam Pasal 25 UUD 1945 yang menyebutkan Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim konstitusi ditetapkan dalam UU," ujar Totok di Jakarta, Kamis (23/2).
Menurutnya, pansel Hakim Konstitusi juga harus merujuk pada Pasal 19 UU MK yang mengatur pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. Dalam penjelasan Pasal 19 UU MK menjelaskan calon hakim konstitusi dipublikasikan di media massa baik cetak maupun elektronik, sehingga masyarakat mempunyai kesempatan untuk ikut memberi masukan atas calon hakim yang bersangkutan.
"Sebelum proses pemilihan dari hakim konstitusi yang dilakukan oleh panitia seleksi dari lembaga pengusul mesti membuka siapa calon secara transparan dan memberikan ruang kepada publik untuk mengkritisinya," jelas Totok.
Sementara merujuk Pasal 20 ayat (2) UU MK menyatakan pemilihan hakim konstitusi harus dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel.
Seleksi Hakim Konstitusi dari eksekutif kali ini ditujukan untuk mencari pengganti Patrialis Akbar, (Mantan) Hakim Konstitusi yang diberhentikan secara tidak terhormat setelah kena operasi tangkap tangan KPK atas dugaan tindak pidana korupsi terkait perkara di MK.
Terkait dengan itu, paling tidak ada dua hal krusial yang harus dipertimbangkan oleh Pansel Hakim Konstitusi dalam menjaring 'manusia setengah dewa' untuk menjadi Hakim Konstitusi.
"Pertama, perlu diingat bahwa pengangkatan Patrialis Akbar oleh Presiden SBY adalah preseden paling buruk dari segi proses dan hasil. Masyarakat sipil ketika itu menilai bahwa pengangkatan tersebut melanggar ketentuan yang terdapat pada pasal 9 dan 25 Undang-Undang Dasar 1945 serta Pasal 19 Undang-undang No. 24 tahun 2003 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 8 tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi karena tidak transparan dan partisipatif," ungkapnya.
Untuk itu, diharapkan Pansel Hakim Konstitusi harus memastikan proses seleksi agar berjalan secara transparan dan partisipatif. Pansel Hakim Konstitusi harus betul-betul jeli dan rinci dalam menelisik rekam jejak Calon Hakim Konstitusi yang mendaftar, dengan indikator absolut bahwa Calon Hakim Konstitusi harus bersih dari rekam jejak afiliasi politik, bukan seorang politisi aktif/pasif dari Partai Politik.
"Tentu, adanya relasi dengan kepentingan politik ini akan membahayakan dari segi integritas dan independensi Hakim Konstitusi nantinya. Jangan-jangan justru akan menjadi mafia sengketa pilkada," tegas Totok.