REPUBLIKA.CO.ID, JOHANNESBURG -- Keputusan Afrika Selatan menarik dari dari Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) tidak konstitusional, kata Pengadilan Tinggi negara itu pada Rabu (22/2).
ICC, yang dibentuk pada Juli 2002 dan beranggotakan 124 negara, adalah lembaga hukum pertama dengan jurisdiksi internasional tetap untuk mengusut genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Afrika Selatan memberitahu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai maksudnya menarik diri dari Statuta Roma, perjanjian pada 1998, yang menjadi dasar berdiri ICC, yang berkedudukan di Den Haag. Penarikan diri itu akan berlaku pada Oktober.
Hakim Pengadilan Tinggi Afsel, Phineas Mojapelo memerintahkan pemerintah pada Rabu menarik maklumat keluar dari ICC, kata keputusan itu, yang disiarkan televisi. "Kami menang dalam aplikasi kami supaya penarikan Afsel dari #ICC dibatalkan," kata partai Aliansi Demokratik yang beroposisi dalam cicitannya.
Partai tersebut menantang penarikan itu. Belum jelas apakah pemerintah akan mengajukan banding atas fatwa pengadilan tinggi itu.
ICC harus menghadapi tuduhan ingin menerapkan agenda neokolonial di Afrika, tempat sebagian besar investigasinya dilakukan di benua itu. Tiga negara Afrika, yakni Afrika selatan, Gambia dan Burundi pada tahun lalu mengisyaratkan maksud mereka keluar dari ICC.
Presiden Gambia Adama Barrow, yang terpilih pada Desember, mengatakan pada awal bulan ini negaranya akan tetap berada di ICC. Afsel menyatakan keluar dari ICC karena keanggotaan bertentangan dengan hukum imunitas diplomatik.
Pada 2015 Pretoria telah mengumukan maksudnya keluar setelah ICC mengkritiknya karena tak menghormati perintah menangkap Presiden Sudan Omar Hassan al-Bashir, yang dituding melakukan genosida dan kejahatan perang, ketika ia mengunjungi Afrika Selatan. Bashir telah membantah tududhan-tuduhan tersebut. Afsel akan menjadi negara pertama mundur dari ICC.