REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta, Sumarno sependapat dengan Presiden RI Joko Widodo yang menilai kebebasan demokrasi di Indonesia terlalu bebas dan kebablasan sehingga membuka peluang terjadinya artikulasi politik yang ekstrem.
"Ya memang demokrasi kita sedang berkembang sedemikian rupa, bahkan hal-hal yang sesungguhnya sudah tidak masuk kategori demokrasi kayak menyebar fitnah, mencaci maki, mem-bully dan sebagainnya kadang-kadang dipahami sebagai demokrasi, padahal seharusnya tidak sepeti itu," katanya kepada Republika.co.id, Kamis (23/2).
"Demokrasi itu tentu ada nilai-nilai, ada norma dan peradaban. Saya sependapat dengan pidato yang disampaikan pak Presiden," ujarnya.
Menurut Sumarno, praktik demokrasi kebablasan yang kebablasan ini juga sangat menyita energi. Salah satu contohnya dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta, sudah terlalu banyak energi yang tersita selama penyelenggaraan Pilkada DKI.
Namun, kata Sumarno, hal tersebut merupakan sebuah proses menuju konsolidasi demokrasi. Sumarno menilai, sampai saat ini belum ada pematangan keseluruhan sistem demokrasi di Indonesia.
"Karena sedang dalam proses dan ini mungkin proses tak terhindarkan, Insya Allah kalau sudah terstruktur dengan matang demokrasinya, peradaban demokrasi sudah tercipta dan sebagiannya. Barangkali, kita akan lebih efisien, lebih produktif. Kan sekarang demokrasi hoax yang berkembang nih. Luar biasa, kita cukup lelah dengan hal semacam itu," jelasnya.
Sebelumnya Jokowi menjelaskan, perkembangan demokrasi yang sangat bebas saat ini terlihat pada sejumlah kejadian empat hingga lima bulan ke belakang. Aksi demokrasi ini memperlihatkan bahwa seluruh elemen bangsa harus memperbaiki kerukunan. Terutama dalam memahami konsep kebangsaan yang harus diketahui rakyat bahwa Indonesia adalah negara yang beragam dan majemuk.
Menurutnya, keanekaragaman di Indonesia menjadi jati diri, identitas, dan entitas bangsa. Keanekagaraman tersebut telah melebur menjadi bagian masyarakat dan menjadi simbol keharmonisan bersama.
Menurut Jokowi, politisasi SARA yang saat ini mendera banyak pihak merupakan bagian dari kurang pahamnya masyarakat mengenai keberagaman. Dampak nyata dari isu ini adalah berterabarannya fitnah, kebohongan, saling memaki, dan menghujat.
"Kalau ini diteruskan bisa menjurus pada perpecahan bangsa kita," ujar Jokowi.
Meski demikian, mantan wali kota Solo ini yakin ketika ujian ini bisa dilampaui maka masyarakat Indonesia akan semakin dewasa, tahan uji, dan tidak lemah. Namun, jika masyarakat dan pemerintah hanya mengurusi permasalahan tersebut, pemerintah akan kehabisan tenaga untuk mengurusi persoalan lain yang lebih penting yakni menyejahterakan rakyat.
"Kuncinya dalam demokrasi kebablasan adalah penegakan hukum. Aparat hukum harus tegas, jangan ragu-ragu. Jangan sampai kita lupa terus menerus seperti empat hingga lima bulan ini, sehingga kita lupa masalah ekonomi kita," jelasnya.