REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dianggap belum mampu menjalankan sistem perpajakan yang mampu mendistribusikan kekayaan, apalagi menekan ketimpangan kesejahteraan. Pemungutan pajak di Indonesia sebagai persentasi dari Produk Domestik Bruto (PDB) menempati peringkat terendah kedua di Asia Tenggara.
Apalagi, proyeksi dari Dana Moneter Internasional (IMF) menyebutkan penerimaan pajak di Indonesia sebesar 21,5 persen. Hitungan gampangnya, bila potensi penerimaan pajak tersebut terpenuhi, maka anggaran kesehatan dalam dinaikan hingga sembilan kali lipat.
Juru Bicara Oxfam untuk Laporan Ketimpangan Dini Wulandari menyebutkan, basis pajak di Indonesia merupakan korban dari para penghindar pajak. Pada 2014 saja, lanjutnya, setidaknya ada 100 miliar dolar AS dana yang mengalir dari Indonesia ke negara-negara suaka pajak atau tax haven. Angka ini nyaris 10 kali anggaran pendidikan Indonesia.
Dini menyebutkan, salah satu cara agar sistem perpajakan bisa secara adil mendistribusikan kekayaan adalah dengan menambahkan komponen pajak dengan tarif pajak yang lebih tinggi untuk golongan teratas dari sistem pajak penghasilan perorangan. Sistem ini diyakini bisa mengembalikan penerimaan pajak yang masuk ke dalam APBN untuk sektor-sektor yang bisa mendorong perekonomian masyarakat kecil.
"Pemerintah juga harus mengkaji ulang pajak kekayaan yang bertujuan meningkatkan pajak bumi dan bangunan, untuk properti dengan nilai tertinggi. Juga naikkan pajak harta warisan," ujar Dini dalam laporannya, Kamis (23/2).
Selain itu, Dini juga mengingatkan pemerintah untuk menghindari upaya untuk menuju tarif terendah (race to the bottom) untuk pajak penghasilan badan usaha. Caranya dengan mempertahankan tingkat pajak badan usaha, tidak menawarkan insentif pajak yang merugikan negara.