REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia sekaligus Rektor Universitas Trilogi Profesor Asep Saefudin mengatakan, Indonesia sangat kekurangan teknopreneur atau entrepeneur berbasis teknologi. Untuk menjadi negara maju harus memiliki teknopreneur minimal lebih dari dua persen.
"Oleh karena itu universitas-universitas di Indonesia seharusnya menjadi tempat untuk menyiapkan generasi muda menjadi teknopreneur di era persaingan global. Apalagi saat ini jumlah teknopreneur di Indonesia masih sangat minim di bawah 0,02 persen," kata Asep, Kamis, (23/2).
Di Malaysia, kata dia, jumlah teknopreneurnya sudah cukup tinggi. Di sana angkanya sudah mencapai tiga persen.
Menurut dia, teknopreneur sangat dibutuhkan guna meningkatkan devisa negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Secara sistem kelompok teknopreneur harus disiapkan oleh universitas. Artinya ekosistem kampus harus mendukung technopreneurship.
Namun untuk mempersiapkan para mahasiswa menjadi teknopreneur kampus tak bisa berdiri sendiri. Harus ada kerjasama antara pemerintah, kampus, industri untuk membanngun bisnis dengan kekuataan teknologi agar produk yang dihasilkan mempunyai nilai tambah.
Di Jambi misalnya universitas di sana mempersiapkan mahasiswanya menjadi teknopreneur berbasis industri sawit. Sawit jangan hanya CPO-nya saja, namun harus dijual dalam bentuk turunan CPO untuk produk komestik.
"Kalau turunan CPO digunakan untuk produk komestik, artinya penetrasi teknologinya sudah tinggi. Hal seperti ini yang harus dilakukan sehingga ada nilai tambahnya."
Saat ini di Indonesia baru menjual CPO saja. Padahal masih banyak turunan CPO lainnya yang berguna bagi perkembangan industri.
Guna menyiapkan mahasiswa jadi teknopreneur mereka harus dilibatkan dalam penelitian untuk menghasilkan produk inovatif. Jadi tak usah menunggu penelitian selesai baru dosen mengajarkan, kalau perlu mahasiswa diajak ikut melakukan penelitian untuk melakukan inovasi produk.