REPUBLIKA.CO.ID, SALFIT -- Jamal Omar Fazaa berdiri di dekat gerbang utama Ariel West, kawasan industri Israel di jantung distrik Salfit di Tepi Barat. Ia menyapu tanah dengan tangannya. "Ini tanah keluarga saya, luasnya 186 dunum (18 hektar)," katanya kepada Aljazirah.
Pohon zaitun tua berdiri kokoh beberapa meter dari buldoser Israel yang meratakan tempat itu. Sejumlah alat berat terlihat di sepanjang jalan Highway 5, yang memotong dua kawasan industri Israel, yaitu Barkan. Di sini menampung lebih dari 130 pabrik, dan Ariel West sekitar 26 pabrik.
Media Israel baru-baru ini melaporkan, ada 60 perusahaan baru telah terdaftar untuk pindah ke kawasan industri itu di bawah ancaman gerakan boikot, divestasi, dan sanksi (BDS).
Tanah milik Fazaa telah dicuri sejak 1980-an. Guru berusia 53 tahun itu awalnya melawan, tetapi hari ini, dia tidak lagi berpikir tanahnya merupakan benda yang sangat berharga.
Salah satu anaknya bekerja di sebuah pabrik di kawasan industri itu dan harus memperbaharui izin kerjanya. Hal itu digunakan Israel untuk menekan setiap perlawanan yang diberikan warga Palestina terkait klaim hak atas tanah mereka.
Hampir setengah dari seluruh pemuda Salfit bekerja di kawasan industri yang pabrik-pabriknya sebagian besar milik Israel. "Ketika mereka mulai membangun jalan ini pada 2000, kami datang untuk memprotes," kata Fazaa, sambil menunjuk jalan utama ke kawasan industri Ariel West.
Fazaa dan beberapa anggota keluarganya kemudian dikenai hukuman penjara selama beberapa hari dan denda sebesar 9.000 syikal atau Rp 31,2 juta yang dibayarkan oleh Otoritas Palestina atas nama mereka. Keluarga tersebut mengaku tidak pernah diberitahu mengenai perampasan tanah oleh pihak Israel.
"Mereka biasanya membawa buldoser, dan jika pemilik tanah datang, mereka akan memberitahu kepadanya tentang hal itu (perampasan)," ungkap Fazaa.
Baca juga, Saat Warga Palestina Kehilangan Rumah Mereka.
Kawasan industri Barkan dan Ariel West dibangun di atas tanah yang disita dari Desa Haris, Sarta, dan Bruqin. Fazaa memiliki dokumen yang dikeluarkan oleh Yordania sebelum 1967, bersama dengan peta yang mulai memudar dan kertas yang didalamnya tertulis daftar properti miliknya.
Tak satu pun dokumen yang mampu membantu Fazaa mengklaim haknya atas tanah tersebut. Jika ingin mempertahankan tanahnya, ia perlu menyewa insinyur mahal untuk melakukan survei tanah dan kemudian memperjuangkannya di persidangan.