Sabtu 25 Feb 2017 16:36 WIB

Muhammadiyah Meluruskan Kiblat Bangsa

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Agus Yulianto
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin memberikan paparan saat Seminar Nasional pada Tanwir Muhammadiyah di Islamic Center, Ambon, Maluku, Sabtu (25/2)
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin memberikan paparan saat Seminar Nasional pada Tanwir Muhammadiyah di Islamic Center, Ambon, Maluku, Sabtu (25/2)

REPUBLIKA.CO.ID, AMBON -- Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah menyampaikan pendiri Muhammadiyah, Kyai Haji Ahmad Dahlan meluruskan kiblat shalat. Sekarang ketika kiblat bangsa melenceng maka pilihannya Muhammadiyah harus meluruskan kiblat bangsa.

Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan, karakter utama Muhammadiyah adalah tasydid, yakni gerakan pembaharuan. Jadi, Muhammadiyah bisa mati kalau karakter pembaharuannya mati. Di setiap masa yang selalu ditawarkan oleh Muhammadiyah adalah pembaharuan dan perubahan.

Ia mengungkapkan, sekarang masalah bangsa, selain masalah kemiskinan dan lain sebagainya yang masih belum beres, juga ada masalah kiblat bangsa. "Hari ini salah satunya adalah kiblat bangsa ini agak melenceng, maka pilihannya harus meluruskan kiblat bangsa yang melenceng," kata Dahnil kepada Republika di sela-sela Seminar Kedaulatan dan Keadilan Sosial untuk Indonesia Berkemajuan pada Tanwir Muhammadiyah di Kota Ambon, Sabtu (25/2). 

Ia menerangkan, bagaimana caranya meluruskan kiblat bangsa, yakni dengan cara high politik. Muhammadiyah memberikan pesan-pesan, seperti yang dilakukan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir dan Pemuda Muhammadiyah. "Saya misalnya nggak berpolitik dalam konteks praktis, tapi berpolitik dari sisi kebudayaan," ujarnya.

Sehingga, kata dia, politik Muhammadiyah hari ini adalah politik kebudayaan. Dulu yang dilakukan Pak Amien Rais, Kiai Haji Mas Mansoer dan Ki Bagus Hadikusumo adalah politik praktis. Tapi, politik praktis bagi Muhammadiyah saat ini sudah tidak populer. Menurutnya, memilih politik kebudayaan merupakan yang paling cocok dengan Muhammadiyah saat ini.

"Sekarang kita sedang melakukan politik kebudayaan untuk meluruskan kiblat bangsa," ujarnya. Dahnil mengungkapkan, politik kebudayaan memang membutuhkan waktu. Selain itu, butuh ketekunan dan kesabaran, jadi yang harus dirawat oleh kader Muhammadiyah adalah ketekunan untuk amar ma'ruf nahi munkar.

Menurut Dahnil, Pak Haidar lebih kelihatan gerakan politiknya seperti Kiai Haji Abdul Rozak Fachruddin dan Kiai Haji Ahmad Dahlan. Dia menasihati dan mengkritik penguasa secara langsung. Kalau diperhatikan, dia langsung menyampaikan apa yang menjadi keluhan dan aspirasi umat Islam kepada penguasa.

Mantan Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menyampaikan, apa yang perlu dilakukan oleh bangsa, jelas harus segera kembali ke khittah kebangsaan. Menurutnya, yang paling mudah dipahami adalah Tri Sakti Bung Karno. Yakni, berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkepribadian secara budaya. "Itu adalah kedaulatan paripurna jika itu bisa ditegakkan dalam kehidupan nasional, politik dan budaya," ujarnya.

Dia menegaskan, Muhammadiyah harus tampil meluruskan kiblat bangsa. Tugas besar bangsa dan Muhammadiyah mempelopori untuk meluruskan kiblat bangsa. Dulu, Muhammadiyah meluruskan kiblat sholat, sekarang kiblat bangsa.

Mantan Ketua MPR RI, Amien Rais yang juga menjadi pembicara dalam seminar berpesan, agar Muhammadiyah menjadi kelompok umat yang tetap memberikan penerangan semacam lilin atau lampu yang terus menyala. Tatkala mungkin sebagian umat sudah lupa, mudah-mudahan umat Islam Indonesia tetap mengagungkan ulama. "Semua ulama InsyaAllah menjadi panutan," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement