REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keberadaan iklan rokok saat ini dinilai semakin meresahkan masyarakat. Pasalnya, media promosi produk tembakau itu kini cukup marak tersebar di warung-warung yang terdapat di sekitar sekolah.
"Kondisi semacam itu dikhwatirkan dapat memengaruhi persepsi kalangan pelajar tentang rokok, sehingga lama-kelamaan mereka pun terdorong untuk mencoba merokok," ujar Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari di Jakarta, Sabtu (25/2).
Hasil studi Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) dan Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) pada 2007 mengungkap, sebanyak 46,3 persen anak mengaku terpengaruh merokok karena melihat iklan rokok. Sementara, sekitar 86,7 persen anak mengaku melihat rokok di media luar ruang.
Sejak Desember 2016, kata Lisda, Yayasan Lentera Anak menggandeng pelajar dari 90 sekolah di lima kota, yaitu Padang, Mataram, Bekasi, Tangerang Selatan dan Kabupaten Bogor, untuk terlibat dalam kampanye #TolakJadiTarget. Lewat kampanye tersebut, para siswa di lima kota itu berhasil menurunkan ratusan spanduk dan poster iklan rokok yang ada di sekitar sekolah mereka. "Kegiatan pencopotan spanduk dan poster iklan ini menjadi salah satu bentuk penolakan mereka dijadikan sebagai target pemasaran oleh perusahaan-perusahaan rokok," tuturnya.
Lisda mengatakan, kalangan pelajar termasuk pasar yang sangat potensial bagi perusahaan-perusahaan rokok. Alasannya, remaja hari ini adalah calon pelanggan tetap mereka di masa depan. "Dari hasil pemantauan kami, lima perusahaan rokok terbesar di Indonesia yakni HM Sampoerna, PT Djarum, Gudang Garam, BAT, dan Nojorono terbukti meletakkan iklannya di sekitar sekolah. Selama kampanye #TolakJadiTarget berlangsung, ditemukan sebanyak 61 merek rokok yang beriklan di sekitar sekolah di lima kota ini," ucap Lisda.
Hasil pemantauan oleh Yayasan Lentera Anak juga mengungkap, perusahaan-perusahaan rokok ternyata mengeluarkan sejumlah uang untuk memasang iklan produk mereka di warung-warung sekitar sekolah. Beberapa pemilik warung mengaku diberi uang dalam jumlah yang variatif. Mulai dari Rp 50 ribu/bulan, Rp 300 ribu/3 bulan, Rp 800 ribu/tahun, Rp 2 juta per tahun, hingga Rp 4 juta per tahun. "Spanduk yang diletakkan di warung sekitar sekolah tersebut diduga tidak berizin dan tidak membayar pajak reklame kepada pemerintah," kata Lisda lagi.