REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Fachry Ali, mengatakan demokrasi kebablasan disebabkan oleh perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat. Banjir informasi dari media online dan media sosial membuat arus informasi sulit dikendalikan.
"Yang terjadi saat ini adalah era informasi digital yang semakin sulit dikontrol oleh siapapun," ujar Fachry dalam diskusi bertajuk 'Kebebasan. Demokrasi. Kebablasan' di Jakarta Pusat, Sabtu (25/2).
Menurutnya, yang dimaksud kebablasan bukan berada pada bentuk demokrasinya. Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang demokrasi yang kebablasan sebenarnya merujuk kepada aktor-aktornya.
Dengan adanya perkembangan komunikasi digital, para aktor politik maupun aktor publik baru lebih mudah bermunculan. Padahal, dalam era sebelumnya, fenomena seperti ini sulit terjadi.
Tokoh-tokoh publik baru ini, lanjut Fachry, saat ini dapat dengan mudah memberi masukan kepada Presiden. Ia membandingkan kondisi di era orde baru saat masyarakat sangat tergantung kepada pengontrol sumber informasi.
"Pola seperti itu kini tidak lagi berlaku. Sebab, saat ini media massa pun kian ditentang oleh media sosial yang semakin bebas," katanya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai bahwa kebebasan demokrasi di Indonesia terlalu bebas. Menurutnya, praktik demokrasi yang kebablasan ini membuka peluang teradinya artikulasi politik yang ekstrem.
"Ini bisa menimbulkan adanya liberalisme, radikalisme, sektarianisme, dan terorisme, dan ajaran lain yang bertentangan dengan ideologi pancasila," kata Jokowi dalam sambutannya pada pengukuhan Partai Hanura, di Bogor, Rabu (22/1).
Baca juga, Pemuda Muhammadiyah Tanggapi Pernyataan Jokowi Soal Demokrasi.