REPUBLIKA.CO.ID, GENEWA -- Serangan bunuh diri mematikan di kota Homs, Suriah mengguncang pembicaraan damai di Genewa, Swiss, Ahad (26/2). Delegasi pemerintah dan oposisi berdebat sengit tentang hal ini.
Kepala intelijen militer, Jenderal Hassan Daabul menjadi salah satu korban tewas dalam serangan tersebut. Ia adalah salah satu orang terdekat Presiden Bashar al-Assad. Serangan pada Sabtu menyasar dua basis layanan keamanan di Homs.
Mantan kelompok afiliasi Alqaidah, Hayet Tahrir al-Sham mengklaim serangan tersebut. Kelompok HAM berbasis di London, Syrian Observatory for Human Rights melaporkan sedikitnya 42 orang tewas. Namun gubernur provinsi mengklaim 30 orang.
Dalam konferensi pers di Genewa, pemimpin negosiator pemerintah Suriah, Bashar al-Jaafari meminta delegasi oposisi mengecam serangan tersebut secara resmi. Jika tidak, pemerintah akan menyebut mereka termasuk golongan teroris. "Hari ini, ujiannya adalah apakah oposisi mengecam serangan teroris ini, jika tidak maka mereka termasuk kedalamnya," kata Al-Jaafari dikutip Aljazirah. Ia berjanji akan mengambil tindakan atas hal ini.
Al-Jaafari kemudian memfokuskan konferensi pers Sabtu malam pada materi perlunya melawan terorisme. Konferensi pers tersebut berlangsung selama kurang lebih 45 menit.
Dalam konferensi pers terpisah, pihak oposisi Suriah mengecam serangan di Homs dan menyebutnya aksi terorisme. Kepala negosiator oposisi, Nasr al-Hariri mengatakan sikap mereka jelas mengecam terorisme dan teroris.
Ia tidak menyebut kelompok mana yang mereka sebut teroris. Namun kelompok oposisi tidak memasukkan ISIS dan mantan afiliasi Alqaidah, Front Nusra kedalam rombongan delegasi konferensi di Genewa.
Front Nusra yang berubah nama jadi Jabhat Fateh al-Sham adalah kelompok yang melahirkan Hayet Tahrir al-Sham. Diakhir pernyataan, Hariri tetap mengecam pemerintah Suriah dan sekutunya milisi yang didukung Iran.
Kolonel Free Syrian Army (FSA), Fateh Hassoun mengatakan serangan pada Sabtu difasilitasi pemerintah Suriah. "Wilayah itu sangat aman dan tidak ada operasi yang bisa menjangkaunya kecuali difasilitasi pasukan keamanan," kata dia.
Homs adalah wilayah yang dikuasai pemerintah Assad sejak 2014. Saat itu, pemberontak mundur dalam gencatan senjata PBB. Meski demikian, serangan pengeboman masih sering terjadi. Termasuk serangan ganda tahun lalu yang menewaskan 64 orang.
Hassoun mengaku tahu tabiat pemerintah karena ia pernah jadi pejabat keamanan. "Saya tahu bagaimana rezim menggunakan hal seperti ini untuk tujuan tertentu," kata dia. Menurutnya, pemerintah ingin mempengaruhi negosiasi Genewa.
Pada Aljazirah, Juru bicara cabang FSA, Southern Front, Issam al-Reis menuduh hal yang sama. "Selama pembicaraan Genewa, ledakan terus terjadi di area pemerintah Sayyida Zeinab," kata dia.
Menurutnya, serangan-serangan ini datang dari pihak yang sama. Reis menduga, rezim Assad mendapat tekanan dari Rusia untuk melancarkan gencatan senjata. Ini kemudian jadi alasan mereka untuk meluncurkan serangan.
Perwakilan khusus PBB untuk Suriah, Staffan de Mistura mengeluarkan pernyataan kecaman pada Sabtu malam. Ia mengatakan serangan teroris menyedihkan yang terjadi di Homs bermaksud merusak upaya pembicaraan damai. "Gangguan akan selalu datang untuk mempengaruhi proses pembicaraan," kata de Mistura. Ia mendesak semua pihak yang mengklaim diri pelawan terorisme untuk terus berkomitmen pada proses politik dan mencegah upaya merusaknya berhasil.
Pada Sabtu, Syrian Observatory juga mengatakan pasukan pemerintah melakukan serangan udara yang menewaskan 13 warga sipil. Termasuk di tiga wilayah sekitar Homs yang dikendalikan pemberontak.