REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua lembaga adat suku Kamoro Robert Waropea mengutarakan kekhawatiran pihaknya apabila PT Freeport Indonesia (FI) berhenti beroperasi. Saat ini pemerintah dan PTFI masih dalam tahapan negoisasi terkait status hukum bisnis antara kedua pihak.
"Saat ini masih aman, tetapi yang kita maksudkan ketika Freeport ditutup, jika tidak ada titik temu. Soal rehabilitasi lingkungan dan hak-hak yang harus dibayar ke masyarakat adat," ujar Robert saat ditemui di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jakarta, Senin (27/2).
Perwakilan dari suku Amungme, Yohanes Deikme mengatakan pihaknya menyampaikan hal tersebut ke Menteri ESDM Ignasius Jonan. Selama puluhan tahun, PTFI beroperasi, kata Yohanes, masyarakat tidak dilibatkan dalam kontrak karya.
"Sehingga dalam sikap pemerintah sekarang, kami dukung untuk harus melibatkan masyarakat pemilik daerah ini. Ini perusahaan besar yang selama ini abaikan hak-hak dasar kami, dan memang kita harapkan menteri esdm dan Presiden melibatkan kepentingan dalam perusahaan ini," tuturnya menerangkan.
Yohanes menjelaskan hak-hak yang diperjuangkan yakni pembagian saham untuk pengembangan masyarakat Papua. Selama ini mereka melihat ketidakjelasan dana di sektor tersebut.
"Sehingga kami harap melalui perubahan melalui Menteri ESDM, Pak Jokowi kami mendukung, agar transparan semua hak yang menjadi milik masyarakat harus jelas," tutur Yohanes.
Pada hari ini pemuka agama dan pemilik hak ulayat di sekitar PTFI beroperasi mendatangi Kementerian ESDM. Suku-suku tersebut antara lain Amungme, Moni, Kamoro, Dani, Duga, Damal, dan Mee.