REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Donald Trump akan mengeluarkan perintah eksekutif terbaru soal imigrasi dan pengungsi pada Rabu (1/3). Hal ini dikemukakan oleh seorang pejabat pemerintahan yang tidak ingin dipublikasikan pada Senin (27/2).
Trump sudah berencana menandatangani perintah baru sejak Jumat, pekan lalu. Namun, juru bicara Gedung Putih, Sean Spicer mengatakan, presiden menahannya untuk memastikan tidak ada kesalahan.
Perintah eksekutif imigrasi sebelumnya ditentang masyarakat dan kemudian diblokir pengadilan federal. Trump mengecam keputusan tersebut dan memutuskan membuat perintah baru daripada membuat revisi.
Sebelum dijegal, kebijakan Trump melarang penduduk dari tujuh negara mayoritas Muslim masuk AS. Pengungsi juga ditahan dalam program selama 120 hari. Tujuh negara yang masuk daftar adalah Irak, Suriah, Iran, Libya, Somalia, Sudan, dan Yaman.
Larangan ini membuat situasi bandara internasional AS kacau. Ratusan orang terpaksa ditahan di bandara karena kebijakan tersebut. Sejumlah kelompok melakukan aksi menolak keputusan Trump yang diklaimnya untuk melindungi AS.
Aksi juga digelar di Downing Street, Inggris hingga membuat anggota parlemen menggelar debat darurat. Masyarakat lainnya turun ke jalan dan meminta pemerintah melarang Trump masuk Inggris.
Menurut Menteri Kementerian Keamanan Dalam Negeri, John Kelly perintah eksekutif yang baru akan 'lebih ramping'. Ia tidak menjelaskan lebih lanjut. Sementara, Penasihat Gedung Putih, Stephen Miller mengatakan akan ada sedikit perubahan teknis.
Namun pada akhirnya kebijakan tersebut punya dasar kebijakan yang sama. Meski demikian, kata Kelly, kebijakan akan lebih responsif terhadap segala tantangan yudisial. Hal ini agar tidak mengulang insiden yang sama seperti saat ini.
Seorang pejabat senior mengatakan kebijakan baru akan tetap menargetkan tujuh negara yang sama. Trump memilihnya karena menurutnya, tujuh negara ini dianggap punya masalah keamanan oleh pemerintahan Barack Obama.
Dalam pidato di Conservative Political Action Committee, Trump bersumpah tetap pada klaimnya. "Kita akan tetap menjauhkan teroris radikal Islam dari negara kita," katanya.
Sebelumnya pada Ahad, Trump menolak laporan intelijen terbaru soal kebijakan eksekutifnya itu. Gedung Putih mengatakan hasilnya tidak mendukung klaim tujuan kebijakan, yakni meningkatkan keamanan nasional.
Laporan tersebut mengatakan larangan untuk semua penduduk dari tujuh negara terdaftar dinilai tidak efektif untuk menghentikan teroris. Pasalnya, kewarganegaraan seseorang bukan indikator terpercaya untuk menentukan potensi aktivitas terornya.
Gedung Putih menolak laporan dan menyebutnya memiliki motif politik. Selain itu laporan dinilai lemah dalam analisis juga penelitian. Juru bicara pembuat laporan, Michael Short mengatakan komunitas intelijen telah menggabungkan sumber terpercaya.
"Menyatukannya dalam laporan komperhensif menggunakan semua sumber tersedia, dari data dan intelijen, bukan politik," kata Short dikutip Independent.