REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pengamat terorisme dari Institute For Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan teror yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini lebih condong ke arah ekstremisme, bukan radikalisme. Ditemui usai sidang doktoral Menpan RB Asman Abnur di Unair, Surabaya, Senin (27/2), Fahmi menjelaskan, radikalisme lebih menjurus pada anarkisme, vandalisme, maupun kerusuhan. Sedangkan ekstremisme merupakan bentuk teror yang dinilai dapat memberikan pesan efektif.
"Nah, berkaca dari bom panci di Bandung itu sebenarnya bentuk ekstremisme. Mereka menyampaikan pesan supaya aparat membebaskan teman-temamnya," kata dia.
Fahmi melihat deradikalisasi yang diprogramkan pemerintah belum berjalan maksimal. Ia menambahan, aksi teror terjadi bisa saja akibat rasa ketidakpuasan, kekecewaan, serta keputusasaan kelompok tertentu atas berbagai persoalan. "Pemerintah mungkin perlu memikirkan cara yang efektif untuk menggunakan kanal-kanal, misalkan melibatkan ormas. Tidak harus melalui agama, bisa menggunakan saluran komunikasi sehingga harapan mereka bisa terkelola dengan baik," ujarnya.
Menurut Fahmi, sekeras apa pun ormas, selama masih dalam koridor sistem kebangsaan perlu sekiranya dilibatkan. "Selama ini memang langkah pemerintah melibatkan ormas belum terlihat nyata, padahal itu perlu untuk kontrol sehingga mengelolanya lebih mudah, apa yang mereka inginkan akan dapat diketahui," ucapnya.
Sementara itu Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian menyebut pelaku aksi bom panci di Bandung merupakan pemain lama yang pernah ditangkap saat latihan teroris di Kota Jantho, Aceh Besar pada tahun 2011. "Pelaku tercatat dalam Jamaah Ansharud Daulah Bandung, yang berafiliasi ke Aman Abdurahman (Maman). Pelaku ini pernah dihukum tiga tahun penjara," ujarnya.