REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom dari Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih menyebut gini rasio di Indonesia yang saat ini membaik di angka 0,394 bukan disumbang oleh makin sejahteranya masyarakat kelas bawah. Justru karena kekayaan harta masyarakat kelas atas yang menurun.
Ia berargumen, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pengeluaran masyarakat dengan tingkat ekonomi 40 persen terbawah tercatat turun tipis selama periode September 2015-September 2016, dari 17,45 persen menjadi 17,11 persen. Sementara, di kalangan 20 persen masyarakat dengan tingkat ekonomi teratas juga terjadi penurunan pengeluaran di periode yang sama. Namun, penurunannya lebih besar, yaitu dari 47,85 persen menjadi 46,56 persen.
"Menurut pengamatan saya, yang buat indeks gini kita turun bukan dari 40 persen terbawah yang naik, tapi karena turunnya yang 20 persen di atas," kata Lana, dalam acara Rembuk Republik di Museum Bank Indonesia, Selasa (28/2).
Lalu, siapakah mereka yang masuk dalam 20 persen masyarakat teratas tersebut? Lana menyebut, mereka adalah penduduk yang memiliki usaha atau bekerja di sektor pertambangan dan perkebunan. Pengeluaran mereka menurun setidaknya dalam satu tahun terakhir ini sebagai dampak dari anjloknya harga komoditas.
"Kekayaan orang-orang ini menurun, banyak tambang yang tidak berproduksi karena menunggu harga komoditas membaik."
Memang, kata Lana, gini rasio yang membaik menunjukkan ketimpangan berkurang. Namun, hal itu tidak linier dengan menurunnya angka kemiskinan.