REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Panitia Seleksi (Pansel) hakim Mahkamah Konstitusi meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut membantu menelusuri rekam jejak kandidat hakim MK yang akan menggantikan Patrialis Akbar.
"KPK diharap untuk memberikan informasi, karena sangat penting untuk memilih seorang pejabat yang berintegritas baik," kata Ketua Pansel MK Harjono di gedung KPK Jakarta, Selasa (28/2).
Sejak 22 Februari 2017, pansel MK yang terdiri atas mantan Wakil Ketua MK Harjono (sekaligus ketua), pengacara dan aktivis HAM Todung Mulya Lubis, pakar hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Ningrum Natasya Sirait, Hakim Konstitusi 2003-2009 Maruarar Siahaan serta Komisioner Komisi Yudisial (KY) Sukma Violetta membuka pendaftaran calon hakim MK pengganti Patrialis Akbar hingga 3 Maret 2017.
"Kita akan menyeleksi, lalu diajukan ke Presiden. Presiden akan memilih dari yang kita seleksi. Syarat-syarat formal ada pendidikan, pengalaman kerja, lalu juga ijazah. Tapi kita harus melihat 'track record' integritas para pendaftar," tambah Harjono.
Alasannya, sudah ada dua hakim MK yang mengalami persoalan integritas yaitu mantan Ketua MK Akil Mochtar dan Patrialis Akbar yang dua-duanya diamankan KPK karena menerima suap dari orang yang berperkara di MK.
"Jadi kita tidak main-main untuk mendapatkan mereka yang patut karena integritasnya," ungkap Harjono.
Namun, Harjono mengaku bahwa hingga saat ini baru 3 orang yang mendaftarkan diri ke pansel. "Sampai saat ini belum banyak, masih tiga orang, tapi biasanya di hari-hari mendekati terakhir kemudian daftar semua. Yang kami minta adalah doktor, tidak harus doktor hukum tapi sarjananya yang harus hukum," tambah Harjono.
Ia pun mengaku hanya punya waktu 30 hari bekerja untuk mendapatkan tiga nama yang akan diberikan ke presiden. "Saat ini belum maksimal karena proses pendaftaran belum selesai, tapi kami sudah jaga-jaga supaya kerja sama cepat karena proses pemilihan hakim MK ini dibatasi waktu oleh karena itu KPK bisa mempermudah kita mungkin informasi cepat itu yang kami harapkan supaya dalam hal memutus nanti kami bisa lengkap," jelas Harjono.
Pada Kamis (16/2), Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan Patrialis melakukan pelanggaran berat karena bertemu dan membahas perkara uji materi UU No 14 tahun 2014 dengan pihak yang berkepentingan dengan perkara yaitu pengusaha Basuki Hariman dan membocorkan draf putusan MK yang bersifat rahasia kepada rekannya Kamaludin, yang selanjutnya memberikan draf itu ke Basuki.
Patrialis saat diangkat pada 2013 merupakan usulan pemerintah. Usulan hakim MK dapat berasal dari presiden, Mahkamah Agung dan DPR. Patrialis Akbar diduga menerima hadiah dalam bentuk mata uang asing sebesar 20 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura (sekitar Rp2,1 miliar) dari Direktur Utama PT Sumber Laut Perkasa dan PT Impexindo Pratama Basuki Hariman agar permohonan uji materil Perkara No 129/PUU-XIII/2015 tentang UU Nomor 41 Tahun 2014 Peternakan Dan Kesehatan Hewan dikabulkan MK.