REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan pemerintah untuk mengalihkan subsidi listrik golongan 900 Volt Ampere (VA) pada Januari 2017 lalu masih menyumbang angka inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, angka inflasi Februari 2017 sebesar 0,23 persen. Tingkat inflasi kalender, Januari-Februari 2017, juga dilaporkan sebesar 1,21 persen dan inflasi tahun ke tahun (yoy) dibandingkan dengan Februari tahun lalu sebesar 3,83 persen.
Kepala BPS Suhariyanto menyebutkan, dari 82 kota yang dilakukan survei Indeks Harga Konsumen (IHK), inflasi terjadi di 62 kota sedangkan 20 kota mengalami deflasi. Inflasi terendah terjadi di Ternate dengan angka 0,03 persen dan inflasi tertinggi terjadi di Manado dengan angka 1,16 persen. Sementara deflasi tertinggi di Jambi dengan angka -1,40 persen dan terendah terjadi Bungo dengan angka -0,02 persen.
Suhariyanto merinci, indeks pengeluaran tertinggi disumbangkan oleh kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar dengan angka 0,75 persen. Sumbangan inflasi dari kelompok tersebut menunjukkan bahwa pengalihan subsidi listrik golongan 900 VA pada Januari lalu masih terasa efeknya hingga Februari. Ia menjelaskan, rumah tangga yang terimbas adalah pelanggan golongan 900 VA pasca-bayar. Secara keseluruhan, andil kenaikan tarif listrik terhadap inflasi sebesar 0,17 persen.
"Kelompok ini (termasuk tarif listrik) menyumbang inflasi terbesar," ujar Suhariyanto dalam konferensi pers di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Rabu (1/3).
Bila tarif listrik menyumbang inflasi terbesar, BPS justru mencatat adanya deflasi yang terjadi untuk kelompok bahan makanan sebesar 0,31 persen. Suhariyanto menilai, raihan ini menunjukkan bahwa sulitnya distribusi bahan makanan akibat cuaca buruk masih bisa teratasi. Meski ada deflasi, tetapi BPS masih melihat bahwa cabai rawit dan bawang merah menunjukkan harga yang tinggi dan mendorong inflasi.