REPUBLIKA.CO.ID, TASMANIA -- Pusat Aborigin Tasmania [TAC] menyerukan adanya jumlah perwakilan aborigin permanen yang lebih banyak di Parlemen negara bagian ini. Seruan itu muncul di saat organisasi ini kembali mengusulkan perubahan nama kursi Majelis Tinggi dari wilayah ‘West Tamar’ menjadi "kanamaluka", bahasa palawa kani untuk ‘Tamar Estuary’ atau Hilir Sungai Tamar.
CEO TAC yakni Heather Sculthorpe mengatakan, organisasinya tak bisa mendukung perubahan nama kursi Parlemen itu sementara pihaknya keberatan dengan struktur dasar dari politik di Tasmania. Ia berujar, masyarakat aborigin "terisolasi" dari Pemilu akibat distribusi daerah pemilihan, yang ia sebut didasarkan pada "angka dan geografi" ketimbang "kepentingan masyarakat".
"Warga aborigin seperti minoritas kecil di setiap daerah pemilihan. Satu-satunya cara agar warga aborigin bisa dipilih adalah menjadi bagian dari partai politik. Oleh karena itu, mereka terikat oleh kebijakan dari partai politik tersebut," jelasnya.
Ia menyarankan, solusinya adalah untuk memiliki perwakilan langsung aborigin di Parlemen, mirip dengan warga Maori di Selandia Baru."Kami mengatakan bahwa warga aborigin harus bisa mengakomodasi apa pun yang diinginkan komunitasnya tanpa terikat oleh kebijakan partai," tutur Heather Sculthorpe.
"Itu membutuhkan daerah pemilihan dan jatah kursi yang terpisah,” sambungnya.
Ia mengutarakan, "Penggunaan bahasa palawa kani telah menjadi keputusan tegas masyarakat aborigin yang akan digunakan untuk fitur geografis. Saat ini, bahasa tersebut belum ditujukan untuk penggunaan umum."
Dalam proposal kanamaluka, Heather Sculthorpe mengatakan mendukung perubahan nama menyiratkan TAC mendukung proses politik di Tasmania padahal sebenarnya tak demikian.
Sejumlah isu sebaiknya tak dikaitkan
Anggota Parlemen dari wilayah Rosevears, yakni Kerry Finch yang mengusulkan perubahan nama mengatakan sungguh disayangkan dua isu ini dikaitkan. "Representasi adalah perdebatan lain, itu masalah politik. Itu diskusi yang baik, mari lakukan itu dan lihat apa pendapat warga,” utaranya.
"Tapi saya begitu menyayangkan bahwa proposisi ini telah dikaitkan dengan sesuatu yang sama sekali berbeda," kata Kerry Finch.
Ia menjelaskan, dirinya sendiri jatuh cinta pada nama "kanamaluka" saat pertama kali mendengarnya dan mayoritas pemilih di daerah pemilihannya mendukung perubahan itu.
"Saya pikir, 'wow, sungguh nama yang menarik’. Sangat mudah untuk dieja, saya pikir itu mudah diucapkan dan saya pikir itu akan menjadi sinyal yang baik bila dewan legislatif memiliki nama palawa kani untuk salah satu daerah pemilihan, " terangnya.
Kerry Finch mengungkapkan, "Saya pikir saya berada di jalur yang benar dengan sesuatu yang akan bersinggungan dengan masyarakat setempat."
Anggota Parlemen ini mengatakan, meski ia tak sepakat dengan keputusan TAC tersebut, ia tak punya rencana untuk mendesak ide itu. "Saya tak diberitahu hingga satu hari sebelum batas penyerahan ke panitia pemilihan bahwa TAC tak akan mendukung kanamaluka untuk digunakan, tetapi saya tak akan lanjut dengan gagasan itu," katanya.
Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.
Diterbitkan: 16:30 WIB 01/03/2017 oleh Nurina Savitri.