Rabu 01 Mar 2017 21:30 WIB

Membedah Kriteria Darurat dalam Syariat

Rep: Reja Irfa Widodo/ Red: Agung Sasongko
Pengajian Majelis Taklim (ilustrasi).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Pengajian Majelis Taklim (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Pada Ahad setiap bulan, Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Ukhuwah Islamiyah (UI) menggelar Kajian Ahad Pagi. Pada tiap pekan, tema atau seri yang disajikan dalam Kajian Ahad Pagi (KAP) tersebut pun berbeda-beda. Pada pekan ketiga, KAP menggelar kajian serial kajian Islam Kontemporer. Kajian ini pun digelar di aula utama Masjid Ukhuwah Islamiyah di Kompleks Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat.

Kajian Ahad pagi ini menjadi salah satu program kerja dari Bidang Dakwah dan Takmir Masjid UI. Pada pekan ketiga Februari, tepatnya 19 Februari, Kajian Ahad Pagi membahas tema 'Kriteria Darurat dalam Syariah'. Pemateri dalam kajian kali ini adalah Ustaz Oni Syahroni.

Di awal paparannya, Ustaz Oni menjelaskan, tema tentang kriteria darurat tidak terlepas dari maslahat yang ada dari perkara tersebut, terutama terhadap kita dan umat. Maslahat itu bersinonim atau sesuatu yang memberikan manfaat dan tidak bertentangan dengan syariat. Ustaz Oni memberi contoh, produksi minuman keras. Produksi minuman keras di satu sisi diklaim membuka lapangan pekerjaan, tapi di sisi lain bertentangan dengan syariah. ''Kesimpulannya bahwa produksi khamr ini tidak bisa memberikan manfaat. Jadi, maslahat harus sejalan dengan syariat,'' ujar dia.

Ustaz Oni melanjutkan, sejumlah ulama bahkan, telah merangkup maslahat ke dalam lima kategori besar. Pengelompokan maslahat ini berdasarkan kebutuhan-kebutuhan manusia di dalam kehidupan. Lima kategori besar itu antara lain, kebutuhan dalam agama, kebutuhan fisik, kebutuhan akal, kebutuhan finansial, dan kebutuhan keluarga atau keturunan.

Kebutuhan agama, misalnya, terkait tentang iman dan akhlak. Sementara, untuk kebutuhan fisik seperti menyediakan waktu untuk berolahraga dan pola hidup sehat. Semua daftar maslahat itu dapat menjadi panduan buat orang dalam menentukan apa yang bermanfaat dan dibutuhkan bagi dirinya. ''Sebenarnya seluruh ketentuan agama, baik yang ada di dalam Alquran maupun Hadis, itu ingin melindungi kelima kebutuhan dasar tersebut. Seharusnya apa yang kita lakukan dari akil baligh, sampai hari ini dan seterusnya, aktivitas kita telah menunaikan kelima target ini,'' kata Ustaz Oni.

Lebih lanjut, dalam ketentuan potong tangan terhadap pencuri, misalnya, Ustaz Oni menjelaskan, ini adalah cara Islam untuk melindungi agar orang tidak mudah mengambil hak milik orang lain. Tentunya, hukuman potong tangan ini telah memenuhi kriteria-kriteria tertentu dalam hal pembuktiannya. ''Jadi, memotong (tangan) satu orang akan membuat banyak orang trauma untuk melakukah hal yang sama. Kesimpulannya, sekian banyak peraturan ini bertujuan untuk mleindungi lima kebutuhan tadi,'' ujar Ustaz yang juga anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut.

Ustaz Oni menjelaskan,  maslahat pun memiliki tingkatan atau level tersendiri. Tingkatan tersebut antara lain, primer atau mendasar, sekunder, dan pelengkap. Tingkatan-tingkatan ini nantinya dapat membantu kita dalam menentukan apakah suatu perkara sudah masuk dalam kategori darurat atau belum. Hingga akhirnya kita dapat memutuskan melaksanakan atau tidak perkara tersebut.

Dia pun mencontohkan, bagi orang yang terkena diabetes, konsumsi gula sudah termasuk ke kategori darurat di level mendasar. Pun dengan kewajiban bekerja untuk seseorang Muslim. Selain itu, ada kebutuhan rumah. Namun, harus dilihat lagi, apakah rumah tersebut masuk dalam level primer atau sekunder jika orang tersebut berniat membangun rumah lima lantai, sedangkan anggota keluarganya hanya tiga orang.

''Ini sangat erat kaitannya dalam menentukan hukum. Ternyata kebutuhan itu bertingkat-tingkat, berbeda-beda tingkatannya. Ada yang mendasar dan ada pula yang sebenarnya sifatnya sebagai pelengkap saja,'' kata dia.

Akhirnya, dalam menentukan status kedaruratan atau melaksanakan suatu yang mendesak, Ustaz Oni menjelaskan, setidaknya ada tiga kriteria yang bisa ditetapkan. Dalam kata lain,  sesuatu bisa dikatakan darurat apabila memenuhi beberapa kriteria, antara lain tidak ada alternatif lain yang halal. Untuk poin ini, dia mencontohkan, penggunaan BPJS Kesehatan. Masyarakat miskin dapat menggunakan BPJS karena tidak sanggup membayar premi asuransi syariah. Namun, jika sudah ada BPJS Syariah, hukum penggunaan BPJS kembali ke hukum asalnya, sama seperti asuransi biasa.

Kemudian, ada kriteria kalau tidak kita ambil atau kita lakukan kondisi darurat, akan membahayakan kebutuhan asasi kita. Ketiga, dalam kondisi darurat, dia boleh melakukan hal itu temporal dan sekadarnya saja. Ustaz Oni memberi contoh, seperti dalam salah satu ayat di Surah al-Baqarah tentang membolehkan memakan bangkai apabila sudah tidak ada makanan atau berada di tengah hutan. ''Namun, memakan bangkai hanya boleh dilakukan sekedarnya saja, tidak sampai kenyang dan berlebihan,'' kata dia.

Terakhir, kondisi darurat yang diberlakukan tidak melanggar aturan-aturan syariat. Misalnya, tidak boleh orang karena alasan darurat, kemudian dia membunuh orang atau korupsi. Jadi, tidak boleh bertentangan dengan syariat, apalagi sampai melanggar dosa-dosa besar karena alasan darurat. ''Dalam darurat kita memang diperbolehkan melanggar syariat, tapi bukan dosa-dosa besar. Kondisi darurat itu pun harus terukur, ada ukurannya dan rambu-rambunya,'' kata Ustaz Oni.

Kajian Ahad Pagi (KAP) yang digelar pada akhir pekan lalu ini merupakan KAP edisi ke-114. Ketua Bidang Takmi dan Dakwah Masjid UI Ustaz Yunus Daud mengungkapkan, KAP ini sudah dilaksanakan sejak 2014 akhir silam. Dia menjelaskan, KAP memang berada di bawah pengawasan, arahan, dan koordinasi dari Bidang Dakwah dan Takmir Masjid UI. Namun, dalam pelaksanaanya juga dibantu oleh sejumlah mahasiswa dan alumni UI. Mereka pun sifatnya volunter.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement