REPUBLIKA.CO.ID, LOMBOK UTARA -- Penertiban bangunan liar di kawasan wisata Gili Trawangan oleh Pemkab Lombok Utara mendapat respons positif berbagai kalangan. Pasalnya, setiap ada rencana penertiban atas bangunan liar di bibir pantai di Gili Trawangan kerap menguap begitu saja dari tahun ke tahun.
Padahal, kehadiran bangunan liar baik restoran, maupun kafe yang berada di bibir pantai dianggap menghalangi akses publik untuk menikmati pemandangan pantai. Akhirnya, Pemkab Lombok Utara bersama TNI, Polri, dan Satpol PP menerjunkan 400 personel gabungan untuk membongkar paksa bangunan liar pada Jumat (24/2) yang merupakan batas akhir bagi pemilik usaha untuk membongkar sendiri bangunannya.
Kesan represif kerap muncul dalam setiap tindakan penertiban yang dilakukan pemerintah terhadap bangunan liar tak tampak di sini. Kebanyakan, pemilik usaha memilih membongkar sendiri bangunannya sebelum tenggat waktu yang diberikan Pemkab Lombok Utara. Sebelumnya, Pemkab Lombok Utara telah melakukan sosialisasi selama 3 bulan.
Warga Desa Gili Indah, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, mendukung penuh upaya Pemkab Lombok Utara dalam menertibkan bangunan liar di bibir pantai Gili Trawangan. "Saya dan masyarakat sudah sepakat, kita mendukung penuh. Dari dulu kita ingin pantai bersih dan terbuka," kata Kepala Desa Gili Indah, Muhammad Taufik di Gili Trawangan, belum lama ini.
Meski pembongkaran bangunan masih belum selesai sepenuhnya, Taufik mengaku sudah merasakan manfaatnya. Udara sejuk dan pemandangan indah pantai yang sebelumnya terhalang oleh bangunan permanen dan semi permanen di bibir pantai, kini kembali bisa dirasakan warga dan juga para pengunjung secara bebas.
"Sebelumnya, kalau menikmati keindahan pantai harus bayar atau pesan makanan minuman di restoran pinggir pantai," lanjut dia.
Ia juga mengapresiasi tim gabungan penertiban yang terdiri atas Pemkab Lombok Utara, TNI, dan Polri. "Penertiban di Gili Trawangan merupakan salah satu tindakan penertiban paling aman dan kondusif di Indonesia. Bisa jadi contoh untuk daerah lain," ungkap dia.
Senada dengan Taufik, penghuni Gili Trawangan lainnya, Elva juga mendukung penuh upaya pemerintah dalam melakukan penertiban ini. Menurutnya, hal ini akan membuat Gili Trawangan semakin indah dan nyaman untuk dikunjungi wisatawan. "Ya kan ini semrawut banget, bagus kalau dirapihkan seperti ini," ucap Elva.
Dia menilai keberadaan bangunan di bibir pantai menutup akses masyarakat luas untuk menikmati keindahan pantai. Selain itu, Elva menuturkan apa yang dilakukan pemerintah sudah tepat jika menilik dari sisi keadilan. Menurutnya, dengan membiarkan pengusaha mendirikan usaha di lokasi yang tidak diperbolehkan justru tidak adil bagi pengusaha lain yang telah membayar sewa kepada pemerintah.
"Ini sudah bertahun-tahun dibiarkan seperti ini, jadi bagus lah. Yang penting setelah dibongkar kembali ditata agar Gili Trawangan makin cantik," harap dia.
Bupati Lombok Utara Najmul Ahyar bersyukur proses penertiban berjalan lancar. Menurutnya, hal ini tak lepas dari sinergitas yang apik antara Pemkab Lombok Utara, pemilik usaha, warga sekitar, wisatawan, dan juga TNI/Polri.
"Tiang (saya) pikir ini berangkat dari niat yang tulus Pemkab Lombok Utara untuk menjadikan Gili Trawangan menjadi lebih baik," ujar dia kepada Republika, Kamis (2/3).
Proses pendekatan secara bermusyawarah dan kedepankan dialog menjadi kunci dalam prosesi penertiban. Pemkab Lombok Utara, kata dia, menjalin membangun dialog-dialog yang humanis dengan melibatkan perwakilan masyarakat dalam musyawarah perencanaan. "Yang penting, kami harus memastikan bahwa tidak ada aspek hukum yang dilanggar Pemkab Lombok Utara," lanjut Najmul.
Dari sejumlah dialog yang digelar, ia menangkap usulan warga dan pengusaha di Gili Trawangan yakni konsep grand design Gili Trawangan pasca penertiban. Ia juga memastikan keberadaan kendaraan berat bukanlah alat pemaksa, melainkan upaya Pemkab Lombok Utara membantu pemilik usaha yang belum membongkar disebabkan alasan teknis seperti tidak dapat melakukan pembongkaran secara manual.
Hal ini juga menepis anggapan miring yang mengkhawatirkan proses penertiban akan membuat wisatawan terganggu. "Faktanya pada saat pembongkaran beberapa tamu malah menyikapinya dengan sangat gembira dan berkata, //Good, Good//," ucap dia.
Pantauan di lapangan, sejumlah pemilik usaha yang berada di garis sempadan pantai di Gili Trawangan, berinisiatif membongkar sendiri bangunan usahanya pada Jumat (24/2) atau sesuai tenggat waktu yang diberikan Pemkab Lombok Utara. Salah satunya ialah Ecustik Restaurant Gili Trawangan. Pemilik resto ini, Andi Paraleno awalnya mengaku terpaksa membongkar kafe miliknya lantaran sudah diultimatum Pemkab Lombok Utara. Kendati begitu, ia tidak bisa berbuat banyak lantaran paham apa yang dilakukannya tidak benar dan melanggar peraturan yang ada.
"Ini sebagian sudah kita bongkar, sisanya masih dalam proses," kata Andi.
Wakil Bupati Sarifudin mengatakan berdasarkan aturan yang ada, jarak antara bangunan dengan garis sempadan pantai sekurangnya berjarak 35 meter. Pemkab Lombok Utara mengambil jalan raya sebagai patokan untuk batas maksimal pendirian bangunan atau sekitar 35 meter.
"Ini kan bebas milik rakyat tidak boleh diambil, enak saja, ini kan namanya tanah negara," ungkap dia.
Sarifudin menambahkan Pemkab Lombok Utara tak serta merta dalam melakukan penertiban, melainkan sudah sejak jauh hari memberikan sosialisasi. "Hampir tiga tahun kita persiapkan, enam bulan kemarin kita sudah sampaikan sosialisasi dengan masyarakat, tiga bulan terakhir intens sampai sekarang," paparnya.
Dia melanjutkan, dari 164 bangunan yang berada di garis sempadan pantai, 100 bangunan sudah dibongkar sendiri oleh pemilik usaha. Sisanya sedang dalam proses pembongkaran. Ia tidak khawatir jika proses penertiban akan menurunkan tingkat kunjungan wisatawan ke Gili Trawangan. "Tidak akan dengan adanya penertiban ini tamu akan pergi, mereka enjoy dan justru yang menganjurkan ke pemerintah adalah mereka agar Gili Trawangan lebih indah," sambung dia.
Dia menjelaskan, Pemkab Lombok Utara juga telah memiliki grand design untuk konsep kawasan Gili Trawangan pasca penertiban. Nantinya, akan ada tiga jalur yakni untuk sepeda, cidomo (delman), dan jalur khusus pejalan kaki. Kemudian, pantai yang sudah bersih akan didisain ulang dan mengundang pengusaha untuk menyampaikan idenya seperti apa.
"Artinya pantai tidak boleh ada bangunan permanen, tapi yang diperbolehkan semacam yang bisa dibongkar pasang," ujarnya.
Selain penertiban bangunan liar, relokasi pasar seni dan sistem buka tutup juga akan menjadi rencana dalam upaya penataan berikutnya. "Buka tutup, saya kira itu masuk program kita, setiap orang diperiksa KTP dan apakah bawa barang terlarang, kerja sama dengan kepolisian, yang datang dari Bali juga akan kita tertibkan," ucapnya.
Dia menjelaskan sektor pariwisata merupakan penyumbang terbesar dalam pendapatan asli daerah (PAD) Pemkab Lombok Utara selama 2016 dengan nilai Rp 80 miliar dari total PAD Pemkab Lombok Utara sebesar Rp 141 miliar. Kontribusi sektor pariwisata ini meningkat dibanding tahun sebelumnya yang sebesar Rp 50 miliar. Tingkat kunjungan wisatawan ke Gili Trawangan, dia katakan, mencapai 1.600 orang setiap hari.
"Apalagi kalau kita tata seperti ini, mudah-mudah bisa tambah banyak lagi," katanya menambahkan.
Ia melanjutkan, jika penertiban Gili Trawangan sudah selesai, hal serupa juga akan dilakukan di Gili Meno, Gili Air, Pelabuhan Bangsal, dan juga Pelabuhan Teluk Nara.