REPUBLIKA.CO.ID, Konstantinopel, kota yang dijanjikan Rasulullah saw akan jatuh ke tangan kaum Muslimin. Tak pelak, sejak manusia agung itu menjanjikan kemenangan kepada umat Islam, banyak dari khalifah-khalifah yang mencoba mengejar bisarah tersebut.
Ratusan tahun pascaucapan Rasulullah, Konstantinopel baru takluk di masa Kekhalifahan Utsmani. Adalah Sultan Mehmed II yang menuntaskan bisarah tersebut. Sultan ketujuh Kekhalifahan Utsmani itu baru bisa membebaskan Konstantinopel pada 29 Mei 1453.
Mehmed II atau yang dunia kenal dengan nama Muhammad Al Fatih bukan hanya seorang sultan atau raja biasa. Ia termasuk prajurit pilih tanding. Lahir di Edirne yang saat itu merupakan Ibu Kota Kekhalifahan Utsmani pada 30 Maret 1432 -sebagian riwayat menyebut Al Fatih lahir pada 3 Maret 1432-, Al Fatih sudah dibesarkan dengan kerasnya didikan militer dan agama. Putra pasangan Sultan Murad II (1404-1451) dan Valide Sultan huma Hatun itu sejak belia dibanjiri fasilitas pendidikan yang sangat tinggi. Banyak guru yang mendidiknya, namun yang paling dekat dengannya adalah Syaikh Ahmad bin Ismail Al-Kurani dan Syaikh Aaq Syamsuddin. Lewat tempaan murabbinya ini, impian Al Fatih memenuhi bisyarah (janji) Rasulullah saw terus terjaga dan kian merekah.
Selain mengajarkan Islam dan berbagai ilmu pengetahuan lain, gurunya itu juga rajin mengajak Al Fatih kecil memandangi benteng Konstantinopel dari kejauhan sembari berkata, “Lihatlah di seberang sana, Rasulullah saw pernah bersabda benteng itu akan ditaklukkan seorang pemimpin yang merupakan sebaik-baiknya pemimpin dan tentaranya adalah sebaik-baiknya tentara. Saya percaya, pemimpin itu adalah kamu.”
Kalimat itu diucapkan Syaikh Syamsuddin berulang kali tanpa bosan. Kalimat itu pula yang menumbuhkan keyakinan dan semangat di dalam diri Al Fatih walaupun lebih dari 800 tahun sejak Rasulullah saw menyatakan sabdanya, Konstantinopel belum mampu dibebaskan.
Sebetulnya, dalam kurun waktu delapan abad itu para khalifah dan pemimpin Islam pun selalu berusaha menaklukkan Kostantinopel. Usaha pertama dilancarkan di zaman Muawiyah bin Abu Sufyan RA. Upaya serupa dilakukan di zaman Khilafah Umayah, Pemerintahan Abbasiyyah, hingga Khalifah Harun al-Rasyid. Tetapi semua usaha itu gagal.
Konstantinopel nyaris dibebaskan umat Muslim lebih cepat di zaman Sultan Yildrim Beyazid. Kesultanan Utsmani sempat membuat kesepakatan dengan Kerajaan Seljuk, kerajaan kecil di Asia Timur (Anatolia). Pemimpin Kerajaan Seljuk, Alp Arslan (455-465 H/1063-1072 M) berhasil mengalahkan Kaisar Roma, Dimonos, pada 463 H/1070 M. Akibatnya sebagian besar wilayah Kekaisaran Roma takluk di bawah pengaruh Islam Seljuk.
Kerja sama Utsmani dengan Seljuk sempat memberikan harapan Konstantinopel akan dibebaskan lebih cepat. Sultan Beyazid mengepung Konstantinopel pada 796 H/1393 M dan memaksa Kaisar Bizantium menyerahkan ‘Ibu Kota Dunia’ itu secara aman kepada umat Islam. Tetapi usaha itu gagal karena datangnya bantuan dari Eropa dan serbuan bangsa Mongol di bawah pimpinan Timur Leng.
Impian Kesultanan Utsmani membebaskan Konstantinopel terus terjaga. Diwarisi dari satu sultan ke sultan lainnya. Hingga impian itu pun juga digenggam Al Fatih yang menjadi sultan Utsmani ketujuh. Bisyarah Rasulullah di perang Khandak itu pun terpenuhi oleh Al Fatih.