Jumat 03 Mar 2017 22:56 WIB

Kapolri: Demokrasi Liberal Bisa Jadi Pemecah Belah Bangsa

Red: Teguh Firmansyah
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian.
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian.

REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Polisi Tito Karnavian menyatakan demokrasi liberal mengentalkan rasa primordialisme yang bisa jadi faktor pemecah belah bangsa.

"Demokrasi liberal akan membuat mengentalnya primordialisme seperti menguat kesukuannya, agama, dan ideologi. Masalah keturunan mulai dipermasalahkan, ini pribumi atau tidak. Demokrasi terlalu bebas di tengah masyarakat belum siap akan menjadi ancaman pecahnya negara," katanya  dalam kuliah umum di Universitas Islam Riau di  Pekanbaru, Jumat

Dalam kuliah yang juga beracara Temu Badan Eksekutif Mahasiswa Nusantara itu, Tito mengatakan, demokrasi di satu sisi membuat peran masyarakat menentukan arah bangsa jadi lebih besar.  Namun di sisi lain, kalau tidak dikelola dengan baik dan terlalu liberal justru menjadi faktor pemecah bangsa.

"Bahayanya diterapkan pada masyarakat yang struktur demografinya didominasi kelas bawah masih belum terdidik dan miskin, maka diterjemahkan demokrasi sebebas-bebasnya," ungkapnya.

Menurut dia, Indonesia masih didominasi masyarakat kelas bawah meskipun itu terus berkurang. Indonesia belum ada kelas menengah yang besar. Hal itu bisa menjadi konflik horizontal karena kecemburuan sosial.

"Ini tantangannya bagaimana agar kelas bawah makin kecil dan kelas menengah makin besar. Tapi 71 tahun Indonesia merdeka kelas bawah masih mendominasi dan itu bisa pecah jadi potensi konflik," ujarnya.

Ia mengatakan, konflik bisa terjadi karena masyarakat kelas bawah yang tak mengerti demokrasi. Dengan begitu bisa didikte oleh orang yang memiliki kekuasaan baik itu uang, formalitas dan media. "Masyarakat dimanipulasi oleh penguasa politik, penguasa uang, dan penguasa media. Ini bisa menghancurkan kebhinekaan," jelasnya.

Akan tetapi, kata dia, Indonesia sudah memilih demokrasi dan tidak bisa mundur lagi. Hanya saja kebebasan harus dibatasi. Demonstrasi, lanjut dia, tak boleh sebebas-bebasnya seperti membakar ban menutup jalan raya sehingga masyarakat tak bisa menggunakan.

"Demonstrasi itu mengeluarkan pendapat ada batasannya, harus gunakan etika dan moral. Jangan sampai demo menghujat suku, agama, dan ras yang lain, kalau kebablasan itu bahaya," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement